Translate

Saturday 26 January 2013

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN MENENGAH UNIVERSAL (PMU)



BAB I
PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang

Keterlibatan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi sungguh sangat menentukan, utamanya dalam mengejar ketertinggalan bangsa ini dari bangsa-bangsa lain. Keberhasilan pembangunan itu sangat ditentukan oleh faktor manusia, dan manusia yang menentukan keberhasilan pembangunan itu haruslah manusia yang mempunyai kemampuan membangun. Kemampuan membangun hanya dapat dicapai melalui pendidikan[1]. Melalui kegiatan pendidikan formal dan non formal diharapkan upaya untuk menciptakan dan mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang religius, penuh kesadaran, berkepribadian, cerdas, berperilaku serta memiliki kreativitas tinggi sehingga siap untuk mengisi pembangunan..
Sumber daya manusia berkualitas merupakan aset dan potensi bangsa yang memegang peranan sangat penting dan mendasar dalam mengisi pembangunan di berbagai bidang. Hal ini, sesuai dengan visi bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya mewujudkan kualitas sumber daya manusia bangsa tersebut tidak terlepas dari pendidikan. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban negara melaksanakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh warganya.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi bangsa salah satunya adalah masih rendahnya mutu dan pemerataan pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Sementara itu sangatlah disadari bahwa kadar kualitas suatu bangsa sangat tergantung dengan kualitas pendidikan warganya. Setidaknya, untuk mengukur daya saing suatu bangsa dipengaruhi oleh tiga hal penting; pertama, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa; kedua, kemampuan manajemen suatu bangsa; ketiga, kemampuan sumber daya manusia.[2]
Usaha yang dilakukan pemerintah dalam membangun dan meningkatkan daya saing sumber daya manusia bangsa, melalui pendidikan yang dilakukan selama ini tetaplah bermakna dalam upaya pencerdasan bangsa, walau tetap saja dihadapkan/dibenturkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sangat cepat dan globalisasi yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat, baik kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan. Upaya pemerintah tersebut melalui pencanangan wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yang terdiri dari program 6 (enam) tahun di sekolah dasar dan 3 (tiga) tahun di sekolah menengah pertama[3]. Kebijakan pemerintah ini merupakan upaya nyata pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui kesempatan akses dan pemerataan pendidikan pada masyarakat. Hal ini juga sebagai usaha dalam mencapai pendidikan yang bermutu, beradab, dan yang dapat memanusiakan manusia perlu memperhatikan prinsip pendidikan sepanjang hayat (lifelong education)  dan memperhatikan empat pilar (sendi) pendidikan, yakni[4]: (1) learning to know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar dengan berbuat), (3) learning to be (belajar menjadi seseorang), dan (4) learning to live together with to live others (belajar hidup bersama) dalam pelaksanaannya.
Bercermin dari keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan standar minimal pendidikan warganya melalui wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun, kemajuan IPTEK, globalisasi dan semangat otonomi daerah, pemerintah mengeluarkan kebijakan standar minimal pendidikan warganya hingga jenjang pendidikan menengah atas (12 tahun). Selanjutnya kebijakan pemerintah ini dikenal dengan program Pendidikan Menengah Universal (PMU). Kebijakan/program ini, diberlakukan secara nasional dengan maksud: 1) lebih memperluas akses, kesempatan dan pemerataan pendidikan pada tingkat sekolah menengah atas; 2) meminimalisir angka putus sekolah, 3) memberikan kesempatan seluruh warga negara usia sekolah menikmati pendidikan.
Implementasi PMU diharapkan dapat dirasakan oleh seluruh warga negara dengan pengaktualisasian empat pilar dan prinsip-pinsip pendidikan sepanjang hayat. Melalui PMU juga diharapkan dalam proses pendidikannya, warga negara akan mendapatkan perolehan berupa pengetahuan, keterampilan, penguatan, pengembangan dan penanaman sikap diri manusia (karakter kebangsaan) secara berkualitas yang berguna bagi kehidupannya sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

1.2.    Fokus Kajian

Banyak hal dan fakta untuk dijadikan sebagai bahan komtemplasi (renungan) dalam dunia pendidikan Indonesia, diantaranya data penilaian Human Development Index (HDI) tahun 2011. Kualitas pendidikan yang punya korelasi dengan kualitas SDM punya urutan buruk. Kualitas SDM Indonesia menurut Human Development Index 2011 yang di release November 2011, ternyata Indonesia berada diurutan terbawah di antara negara Asean. Kita kalah sama Philipina dan jauh dibelakang dibandingkan dengan Malaysia.
Human development index yang mengurutkan 187 negara di dunia membagi dalam empat columns of catergories[5]:
1.    very high human development dimana terdapat urutan 1 sampai 47;
2.    high human development yang memuat urutan 48 sampai 94;
3.    medium human development dengan urutan 95 sampai 141;
4.    low human development dengan urutan 142 sampai 187.
Indonesia masuk dalam kategori ketiga sebagai negara dengan medium human development, dan hanya menempati urutan ke 124. Sedangkan Phillipina ada di urutan ke 112 dan Thailand di tangga 103. Malaysia berada di katagori kedua sebagai negara dengan high human development dan menempati urutan ke 61. Sedangkan Singapore masuk dalam katagori very high human development dengan urutan ke 26.
Berdasarkan data laporan data statistik world bank 2011 dan the global competitiveness report 2010 - 2011, yang menyatakan bahwa lama sekolah berkorelasi positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI) sebagaimana terlihat pada grafik 1 hingga 4 berikut:
Grafik 1: Perbandingan APK AMP dan SM Tahun 2010[6]












Grafik 2: Pentingnya Wajib Belajar 12 Tahun[7]









Grafik 3: Pentingnya Wajib Belajar 12 Tahun[8]











Grafik 4: Manfaat Sosial dan Ekonomi dari Pendidikan[9]









Dari grafik 1 hingga 4 di atas, terlihat bahwa lama sekolah memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan nilai PDB per kapita, hal ini dinyatakan dengan koefisien korelasi r = 0,93. Demikian juga lama sekolah memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan nilai Global Competitiveness Indeks (GCI), dengan koefisien korelasi r = 0,96. Begitu juga hubungan lama sekolah dengan indeks pendidikan, memiliki korelasi positif yang juga sangat tinggi, dengan koefisien korelasi r = 0,97. Bahkan lama sekolah memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan koefisien korelasi r = 0,99.
Berdasarkan data grafik dan makna koefisien korelasi tersebut di atas, upaya menggagas, mengimplementasikan, dan mendorong percepatan pelaksanaan PMU semakin mendesak. Perluasan akses kepada seluruh anak bangsa dalam rangka mendapatkan dan memasuki dunia pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi merupakan dasar alasan dalam menggagas PMU dalam menyiapkan SDM masa depan yang berkualitas. Paling tidak ada beberapa alasan percepatan pelaksanaan PMU, yaitu[10]:
1)     keberhasilan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan wajib belajar (wajar) 9 tahun. Artinya keberhasilan wajar 9 tahun memiliki konsekuensi logis untuk memberikan akses bagi mereka yang telah lulus di jenjang pendidikan dasar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah;
2)     bonus demografi, yang merupakan periode emas untuk mempersiapkan generasi baru dalam memasuki tahun 2045, tahun ketika Indonesia memasuki usia satu abad kemerdekaannya;
3)     komitmen pemerintah untuk menganggarkan minimal 20 % dari APBN untuk pendidikan;
4)     Percepatan capaian Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebesar 97 % di tahun 2020;
5)     Mengurangi disparitas APK antar kabupaten/kota;
6)     Memperbaiki komposisi SMA dan SMK untuk memperkuat pendidikan vokasional, dari komposisi 49:51 menjadi 55:45 antara SMK dan SMA;
7)     komitmen pemerintah di dalam menganggarkan minimal 20 % dari APBN untuk pendidikan.
Melihat alasan percepatan pelaksanaan PMU di atas, sudah seharusnya daerah segera merespon tantangan tersebut yang disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Melalui semangat otonomi daerah diharapkan daerah dapat memulai gerakan Pendidikan Menengah Universal (PMU)[11] tanpa menunggu daerah lain, jika daerah tersebut telah siap. Artinya daerah yang sudah siap diberi keleluasaan untuk memulai lebih awal gerakan PMU ini. Sudah barang tentu untuk keberhasilan dalam pelaksanaan PMU ini, diperlukan kesiapan seluruh komponen terkait terlebih pada tataran operasional pelaksananya. Untuk itu, perlu dirumuskan strategi penataan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan.

1.3.    Rumusan Masalah

Pencanangan pendidikan menengah universal sampai dengan tingkat SMA/SMK/MA merupakan pencerminan dari kesungguhan pemerintah dalam mewujudkan tugas-tugas pelayanan pendidikan melalui kebijakan pendidikan menengah universal 12 tahun. Kebijakan pemerintah ini merupakan upaya nyata dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam bentuk-bentuk pelayanan pendidikan, melalui kesempatan pemerataan pendidikan masyarakat. Pendidikan menengah universal 12 tahun sudah menjadi keputusan pemerintah untuk segera direalisasikan, yang dalam pelaksanaannya adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat, dan pemerintah (pusat dan daerah).
Permasalahan yang dirumuskan dalam tulisan ini dan diharapkan mampu menjawab permasalahan implementasi PMU, yang terurai pada Peran pemerintah daerah dalam Pendidikan Menengah Universal (PMU)”. Dengan mengetahui berbagai permasalahan terjadi terkait dengan pelaksanaan pendidikan dalam era otonomi daerah, diharapkan pemerintah pusat dan daerah mampu bersinergi dalam mengoptimalkan perannya dalam pelaksanaan PMU. Optimalisasi peran pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan agar formulasi penerapan dapat berjalan dengan baik.

1.4.    Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.    Mengidentifikasi peran pemerintah daerah dalam Pendidikan Menengah Universal (PMU).
2.    Mengidentifikasi permasalahan yang dialami pemerintah daerah dalam penerapan PMU.
3.    Merumuskan strategi pengelolaan PMU bagi pemerintah daerah.

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1.    Pemikiran Program Pendidikan Menengah Universal

Keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) dalam menekan angka pertumbuhan penduduk menjadi sangat berarti bagi bangsa Indonesia. Akibatnya jelas, dari keberhasilan program tersebut, terjadi perubahan struktur umur penduduk, yaitu terjadi peningkatan jumlah penduduk yang berada dalam usia produktif. Sementara di sisi lain jumlah penduduk yang ada dalam usia non-produktif mengalami penurunan.
Kondisi seperti di atas sering di kenal dengan bonus demografi. Bonus demografi ini sesungguhnya suatu kesempatan yang sangat langka. Mencermati kondisi tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menempatkan Pendidikan Menengah Universal (PMU) 12 tahun sebagai agenda yang harus dilaksanakan mulai tahun 2013. Mendikbud menjelaskan, bahwa[12]: Pendidikan Menengah Universal 12 Tahun di tempuh untuk menjaring usia produktif di Indonesia. Lebih lanjut, dikatakan bahwa terdapat bonus demografi untuk Indonesia pada tahun 2010 sampai dengan 2035. Artinya, sepanjang rentang tahun ini terdapat kumpulan peserta didik usia yang potensial dan produktif.
Pada periode bonus demografi ini pemerintah akan melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia merdeka. Oleh karena itu, kita harus menyiapkan akses seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa untuk memasuki dunia pendidikan; mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai ke perguruan tinggi.

2.2.    Pendidikan Menengah Universal

Berpijak dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada pasal 11 ayat 1 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, pasal 17 pada ayat (1) pendidikan dasar  merupakan  jenjang  pendidikan  yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Ayat (2) tertulis bahwa pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Berdasarkan landasan hukum di atas dan dengan melihat kondisi nyata saat ini, Indonesia memasuki periode bonus demografi. Untuk itu pemerintah menelurkan regulasi program Pendidikan Menengah Universal (PMU). PMU adalah pendidikan universal yang harus diperoleh oleh anak-anak yang memberikan bekal keilmuan dasar.
Program pendidikan menengah universal tidak jauh beda dengan program pemerintah wajib belajar 9 tahun. Bercermin dari keberhasilan program wajib belajar 9 tahun berjalan, pemerintah menggulirkan program pendidikan menengah universal 12 tahun. Harapannya, melalui program PMU 12 tahun sumber daya manusia Indonesia berpendidikan minimal sampai pada tingkatan sekolah menengah, baik itu SMA/MA ataupun SMK. Hal ini merupakan amanat pasal 18 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas ayat (1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar; (2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. (3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. 
Gagasan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) tersebut dilandasi kesadaran pemerintah untuk jumlah lulusan SMA/MA atau SMK dan yang sederajat di seluruh penjuru tanah air. Dengan program pendidikan menengah universal, diharapkan lulusan SMA/MA atau SMK semakin meningkat sehingga secara usia dan kompetensi mampu bersaing di dunia kerja.
Dalam melaksanakan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) pada 2013, pemerintah akan mengamandemen Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebagai payung hukumnya. Tiga sasaran utama Pendidikan Menengah Universal (PMU), adalah:
1.    Mendongkrak Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Menengah
Sasaran pertama adalah mendongkrak Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah. Setelah akses lebih terbuka, masyarakat akan di dorong untuk menuntaskan pendidikan minimal sampai 12 tahun. Targetnya, APK pendidikan menengah pada 2020 akan mencapai 97 persen. Menurut Nuh, tanpa PMU, pertumbuhan APK akan jauh lebih lambat dan diprediksi baru akan mencapai 97 persen sekitar tahun 2040.
2.     Memperkecil Disparitas antar Kabupaten/Kota
Sasaran kedua dari program PMU adalah memperkecil disparitas antar kabupaten/kota. Pasalnya, lanjut Nuh, saat ini, setidaknya 71 kabupaten/kota masih memiliki APK kurang dari 50 persen.
3.    Memperbaiki komposisi SMA dan SMK
Sasaran ketiga, adalah memperbaiki komposisi SMA dan SMK. Para lulusan SMP akan memiliki akses lebih luas untuk melanjutkan pendidikan setelah pemerintah melakukan rehabilitasi, dan pembangunan sekolah serta ruang kelas baru. Para peserta didik juga akan lebih didorong untuk masuk ke SMK guna menyiapkan sumber daya pekerja yang lebih terampil.
Melalui tiga sasaran tersebut di atas, diharapkan tujuan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan menengah dapat lebih terumuskan dan mengacu kepada tujuan umum pendidikan sebagai berikut: (1) meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut; dan (2) meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kompetensi kejuruannya (BSNP, 2006).

2.3.    Trend Pendidikan Menengah Universal

Kebijakan Pendidikan Universal (PMU) sebagaimana yang akan dicanangkan pemerintah pada tahun 2013 telah diusahakan oleh UNESCO sejak tahun 2000. Fokus utama UNESCO dalam pendidikan menengah yakni membantu negara-negara anggota mencapai Pendidikan Untuk Semua (Educationan for All). Tinjauan konseptual dan implementatif bahwa beberapa negara belum dapat memenuhi salah satu atau kedua tujuan dan/atau menjadi model pendidikan menengah universal. Namu, sebagian besar pemerintah menyadari bahwa pendidikan menengah yang baik adalah salah satu yang berkaitan dengan pengembangan holistik dan pemberdayaan manusia dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. Masalah ini melibatkan persiapan untuk hidup, dunia kerja dan untuk pendidikan tinggi. Tiga bidang fokus utama penyelesaian masalah adalah akses, kualitas dan relevansi.
Untuk membantu negara-negara anggota, UNESCO menggunakan pendekatan hulu dan modalitas yang spesifik untuk menyampaikan program-programnya. Metode yang digunakan termasuk mengidentifikasi tren baru dan prioritas untuk mempromosikan pendidikan menengah, penelitian, pendekatan inovatif untuk menyebarkan informasi, mempromosikan dialog kebijakan dengan pengambil kebijakan pendidikan tingkat tinggi pemerintahan, dan pertemuan regional atau internasional. Selain itu, lembaga dunia ini juga menggunakan jaringan global, pengalaman dan keahlian untuk mempertemukan para pembuat kebijakan dan para ahli. Pelaksanaan PMU di negara-negara berkembang, seperti Uganda telah diperkenalkan sejak tahun 2007 sebagai tindak lanjut dari Pendidikan Dasar Universal dengan menghilangkan biaya pendidikan bagi siswa. Kebijakan PMU telah banyak memperluas akses pendidikan menengah bagi keluarga Uganda, termasuk beberapa warga miskin rentan yang tidak akan dan bahkan menganggap sekolah menengah merupakan sesuatu yang mustahil tanpa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Pada tahun 2000, masyarakat internasional pada Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal, menyatakan bahwa sesuai fakta masih banyak negara yang yang belum mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua. Para peserta menyepakati kerangka aksi Dakar yang kembali menegaskan komitmen mereka untuk mencapai pendidikan untuk semua pada tahun 2015, dan mengidentifikasi enam tujuan pendidikan kunci terukur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar semua anak, remaja dan orang dewasa pada tahun 2015. Selain itu, forum menegaskan kembali peran UNESCO sebagai organisasi memimpin dengan tanggung jawab keseluruhan koordinasi instansi dan organisasi lain dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut.
Kerangka Aksi Dakar (2000) menetapkan tujuan yang relevan dengan dan memiliki implikasi untuk pendidikan menengah terutama butir 3 tujuan yakni memastikan kebutuhan belajar remaja dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil terhadap pembelajaran yang tepat dan program keterampilan hidup (life-skill). Sementara, tujuan ke 5 adalah tentang menghilangkan disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015. Sebuah perspektif global pendidikan menengah dapat memberikan gambaran pada masalah dan tantangan yang dihadapi terutama oleh negara-negara berkembang dan bagaimana pengalaman dan intervensi yang sukses dari negara lain dapat diadopsi untuk menuntaskan program PMU.
Penyediaan pendidikan menengah berkualitas relevan dengan perubahan kebutuhan remaja dan masyarakat pada umumnya menjadi perhatian secara universal. The UIS Pembaca Digest (2005) melaporkan bahwa data 144 dari 183 negara memiliki pendidikan wajib menengah dengan pengecualian Asia Selatan dan Barat dengan tingkat partisipasi masing-masing 51,9%. Untuk tingkat partisipasi sekunder, kedua wilayah tersebut tertinggal dengan tingkat partisipasi hanya 40% sedangkan tingkat partisipasi universal 90% atau lebih di sebagian besar negara-negara di wilayah ini.

2.4.    Kebijakan Pendidikan Universal (PMU)

 Pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam memajukan dan meningkatkan kualitas SDM di indonesia. Peranan masyarakat sebagai pelaku utama pendidikan. Kesadaran masyarakat bahwa pendidikan bukan sekedar formalitas belaka namun mengerti dan memahami dengan benar bagaimana berinvestasi pada pendidikan. Peranan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan pendidikan tidak akan maksimal tanpa partisipasi masyarakat didalamnya, mengingat adanya pemikiran yang berkembang dikalangan masyarakat untuk investasi didunia kerja (bekerja atau lainnya) daripada investasi pendidikan. Mungkin masih dapat diterima jika mengacu pada masyarakat yang kurang mampu.
Pendidikan sendiri telah didefinisikan sebagai sebuah upaya yang direncanakan untuk mendirikan suatu lingkungan belajar dan proses kegiatan pendidikan sehingga siswa secara aktif dapat mengembangkan/ potensi nya yang ada pada dirinya sendiri untuk mendapatkan tingkat religius dan spiritual, kesadaran, kepribadian, kecerdasan, perilaku dan kreativitas untuk dirinya sendiri, lainnya warga negara dan untuk bangsa. Konstitusi juga telah  mencatat kalau pendidikan di Indonesiasecara garis besar telah dibagi menjadi dua bagian yaitu pendidikan formal dan non-formal. Selanjutnya pendidikan formal juga masih dibagi lagi menjadi tiga level yaitu, tingkat primer, sekunder dan pendidikan tinggi.
Sebagai langkah awal kebijakan PMU, siswa SMA/SMK juga bakal mendapat kucuran dana bantuan operasional sekolah seperti yang selama ini diberikan kepada siswa jenjang pendidikan dasar. ”Dalam beberapa tahun ke depan, kenaikan anggaran pendidikan nasional cukup tinggi. Untuk BOS pendidikan dasar tahun 2012 sudah terpenuhi. Jadi, pemerintah mulai merintis BOS untuk SMA/SMK/MA supaya wajib belajar 12 tahun terwujud,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, di Jakarta. Menurut mantan rektor ITS, rintisan BOS untuk SMA/SMK/MA ini harus dimulai karena sampai tahun 2014 salah satu fokus kebijakan pendidikan nasional adalah mengatasi masalah keterjangkauan. Pendidikan di jenjang SMA/SMK dirasakan masih sulit dijangkau karena masalah biaya sekolah. Hal ini, terlihat dari angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2009/2010 yang baru mencapai 69,6 persen. Jika wajib belajar 12 tahun telah siap, pemerintah akan menetapkan usia wajib belajar hingga SMA/SMK/MA. Untuk pendidikan dasar, usia wajib belajar ditetapkan 7-15 tahun.

2.5.    Tantangan Pelaksanaan PMU

Menurut UNESCO banyak variasi tantangan yang dihadapi banyak negara dalam pelaksanaan PMU. Namun, apa yang disajikan pada bagian ini hanyalah sebagian dari sekian banyak tangtangan yang dimaksud. Ketersediaan guru, perluasan, kebijakan, dan kualitas dan relevansi. Di banyak negara berkembang, ketersediaan guru menjadi masalah utama dan sebagian besar belum memenuhi standar minimum profesi. Masalah lain adalah faktor kondisi pelayanan dan de-memotivasi yang terkait erat dengan isu-isu status guru, kebutuhan pelatihan, peran guru dalam reformasi dan renovasi pendidikan menengah, dan jenis pengetahuan, keterampilan serta keterlibatan kaum muda yang terintegrasi dalam proses pembangunan. Respon UNESCO untuk masalah di atas adalah inisiasi Pendidikan Pelatihan Guru yang dikelola oleh Divisi Pendidikan Tinggi, bertanggung jawab juga untuk Pendidikan Guru dan Pendidikan Teknis.
Selain masalah ketersediaan guru, tantangan lain berupa artikulasi kebijakan yang terbatas antara keterkaitan tingkat pendidikan dari pengembangan anak usia dini, dasar hingga menengah, lama belajar tersier dan kehidupan telah gagal membawa fungsi yang sangat penting dari pendidikan menengah dalam pencapaian EFA, MDGs dan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi berkelanjutan. Pemantauan pelaksanaan swap akan memastikan pembangunan yang sistemik lebih holistik pendidikan.
Selanjutnya adalah kualitas dan relevansi pendidikan yang mensyaratkan bahwa jenis pendidikan memiliki keterkaitan dengan pengalaman, kebutuhan ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari individu dan masyarakat. Relevansi dan kualitas pendidikan yang rendah merupakan isu politik yang berkembang. Di Amerika Serikat misalnya analis kebijakan mengandaikan bahwa "mengoreksi kegagalan pendidikan" terutama pada tingkat sekolah menengah adalah tugas yang paling penting yang dihadapi bangsa (Pendidikan Choice Amerika, "The Economist, 1 April 2000). Kurikulum pendidikan menengah harus mencerminkan hubungan dinamis antara kualitas pendidikan dan ekonomi produktif. Peringatan penting bertujuan untuk menghindari overloading kurikulum yang bisa dijadikan sebagai pendekatan analitis mengatasi masalah kekurangan guru.
Program kerja dari UNESCO yang berhubungan dengan pendidikan menengah, tetapi relevan dengan tingkat pendidikan lainnya didasarkan pada hak atas pendidikan, dalam pendidikan dan melalui pendidikan sebagai prinsip menyeluruh untuk meningkatkan akses universal. Selain itu, diversifikasi isi kurikulum untuk menjamin relevansi kualitas dan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, individu dan masyarakat pada umumnya untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan. Selanjutnya, kesempatan yang sama bagi kaum muda untuk mendapatkan keuntungan dari pendidikan dasar umum dan akuisisi keterampilan melalui promosi model sistemik pendidikan menengah yang fleksibel. Menggarisbawahi prinsip-prinsip bahwa panduan program kerja UNESCO penting dalam memberikan perhatian khusus dalam peningkatan kualitas melalui advokasi lingkungan keaksaraan untuk memastikan peserta didik mencapai tingkat penguasaan dan pengembangan pengetahuan dan ekonomi berkelanjutan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, Retno Listyarti (kompas, 30 Agustus 2012) mempertanyakan kelayakan pelaksanaan program wajib belajar (wajar) 12 Tahun. Menurutnya, program rintisan Pendidikan Menengah Universal (PMU) ini tak wajar untuk dimulai karena masih menyisakan 'pekerjaan rumah' dalam program sebelumnya mengingat program wajar 9 tahun masih belum tuntas. Program itu hanya mengurangi angka melek huruf dan angka partisipasi kasarnya saja, tetapi secara kualitas, pendidikan wajar 9 tahun masih jauh dikatakan dari berkualitas. Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini menegaskan, masih banyak kepincangan yang diwariskan pemerintah dalam pelaksanaan program wajar 9 tahun. Bahkan, menurutnya pula, pendidikan dasar di dalam negeri masih terbengkalai meski pemerintah telah mengklaim bahwa program wajar 9 tahun telah rampung secara kuantitatif dengan ditunjukkannya Angka Partisipasi Kasar (APK) yang mencapai 98 persen.
Pendapat lain tentang tantangan PMU di Indonesia termasuk perbaikan jumlah subsidi Rintisan BOS dan BKM yang tentunya harapkan akan terus naik sampai batasan yang dianggap wajar untuk kebutuhan biaya pendidikan bagi seorang siswa SMA. Selain itu, konsekuensi dari kenaikan ini maka berarti pula harus ada penambahan SMA/SMK atau ruang kelas baru serta gurunya. Penambahan ruang belajar tentunya harus dibarengi dengan program peningkatan mutu, baik mutu guru seperti pelatihan kompetensi pembelajaran, program peningkatan kualifikasi guru dan yang tak kalah pentingnya juga memenuhi atau menambah sarana pendukung pembelajaran seperti komputer, buku, peralatan laboratorium serta fasilitas pendukung lainnya. Angka drop out pendidikan menengah umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua peserta didik membayar dana sumbangan yang dirasa masih memberatkan ini terutama terjadi di daerah perkotaan. Untuk itu, dibutuhkan studi kajian dalam rangka melahirkan kebijakan PMU yang konprehensif dan berterima.
Tantangan serupa juga dikemukakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) melalui Direktur Jenderal Pendidikan Menengah, Hamid Muhammad mengaku masih ada kesulitan untuk mewujudkan pendidikan wajib belajar 12 tahun. Beliau mengungkapkan, kesulitan utama untuk mewujudkan wajib belajar 12 tahun adalah terbatasnya anggaran yang dialokasikan Kemendiknas kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah. Hamid menyadari bahwa mutu pendidikan yang berkualitas harus didukung dengan pembiayaan yang mencukupi. Namun, ia mengaku tak ingin keterbatasan anggaran kemudian menjadi beban masyarakat. Untuk itu ia berjanji akan segera memformulasikan secepat mungkin apa saja yang menjadi keluhan masyarakat. Termasuk mengatur mahalnya biaya pendidikan menengah yang saat ini semakin sulit untuk dikontrol dan terasa sangat membebani para orang tua peserta didik.

2.6.    Konsep PMU di Indonesia

Salah satu kebijakan pemerintah berupa Penyiapan Pendidikan Menengah Universal yang direncanakan akan berlaku mulai tahun 2013 sebagaimana sambutan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada peringatan Hari Pendidikan 2 Mei 2012.  Pendidikan Menengah Universal 12 Tahun ditempuh untuk menjaring usia produktif di Indonesia. Menteri M. Nuh menyampaikan terdapat bonus demografi untuk Indonesia pada tahun 2010 sampai dengan 2035. Artinya, sepanjang rentang tahun ini terdapat kumpulan peserta didik usia yang potensial dan produktif. Pada periode ini pemerintah akan melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia merdeka. Untuk itu, perluasan akses seluas-luasnya perlu diberikan kepada seluruh anak bangsa untuk memasuki berbagai jenis dan jenjang pendidikan.
Dasar hukum pelaksanaan PMU di Indonesia sebagaimana yang tercantum pada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 11 ayat (1) bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Selanjutnya, pada pasal 17 ayat (1) disebutkan pula bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah dan ayat (2) bahwa pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Konsekuensi logis dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Program pendidikan menengah universal tidak jauh beda dengan program pemerintah wajib belajar 12 tahun. Setelah sekian lama program wajib belajar 9 tahun berjalan, akhirnya akan diimplementasikan program wajib belajar 12 tahun. Dalam bahasa yang singkat pemerintah telah membuat kebijakan yaitu mewajibkan pendidikan bagi peserta didik minimal sampai pada tingkatan sekolah menengah, baik itu SMA/MA ataupun SMK. Dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa (1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar; (2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. (3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. 
Pendidikan menengah (sebelumnya dikenal dengan sebutan sekolah lanjutan tingkat atas atau SLTA) adalah jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah umum diselenggarakan oleh sekolah menengah atas (SMA) (sempat dikenal dengan "sekolah menengah umum" atau SMU) atau madrasah aliyah (MA). Sedangkan pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan oleh sekolah menengah kejuruan (SMK) atau madrasah aliyah kejuruan (MAK). Pendidikan menengah kejuruan dikelompokkan dalam bidang kejuruan didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, dunia industri/dunia usaha.
Gagasan program Pendidikan Menengah Universal tersebut dilandasi kesadaran pemerintah untuk jumlah lulusan SMA/MA atau SMK dan yang sederajat di segenap penjuru di tanah air. Dengan program pendidikan menengah universal, diharapkan lulusan SMA/MA atau SMK semakin meningkat sehingga secara usia dan kompetensi mampu bersaing di dunia kerja. Intervensi pemerintah pusat dalam pendidikan dilakukan untuk mengurangi Angka Drop Out dan meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik SMA. Mencermati kondisi tersebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menempatkan Pendidikan Menengah Universal (PMU) 12 tahun sebagai agenda yang harus dilaksanakan mulai tahun 2013.
Lebih lanjut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, program Pendidikan Menengah Universal (PMU) merupakan rintisan wajib belajar 12 tahun. Disebut rintisan karena hingga saat ini, wajib belajar 12 tahun belum menjadi amanat undang-undang seperti halnya pendidikan dasar 9 tahun. Untuk itu, Pemerintah pun segera menyiapkan rancangan untuk amandemen Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) untuk melandasi perubahan wajib belajar 9 tahun menjadi wajib belajar 12 tahun. PMU dijadikan agenda pembahasan utama dan sudah ditetapkan dalam rencana kerja pemerintah setelah disinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato kenegaraan dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-67, di gedung parlemen, pada 16 Agustus 2012. Untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, pemerintah bersama DPR akan menyusun anggaran untuk menjalankan program tersebut.


BAB III
PEMBAHASAN


Pengimplementasian program PMU merupakan penyesuaian pendidikan kepada tuntutan-tuntutan yang terus berkembang dalam rangka meningkatkan kecerdasan manusia Indonesia. Dalam kerangka ini pada pelaksanaannya harus mengacu pada kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kriteria minimal dimaksud sebagaimana yang diinginkan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) terdiri atas; Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, Standar Penilaian Pendidikan.
Kirannya di dalam mengimplementasian PMU dapat mengintegrasikan dan menyesuaikan dengan tujuan dan fungsi SNP sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, Penjaminan mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Memperhatikan konsepsi-konsepsi tersebut di atas, para pendidik, para pengambil keputusan maupun para edukator dilapangan dapat menyikapinya. Penerapan atau perubahan itu tidak boleh superficial, tambal sulam, dan hanya berada pada tataran sistem operasi. Perubahan itu harus bersifat sistemik, integratif, dan holistik. Oleh karena itu pula, sudah saatnya untuk dilakukan  reorientasi dan penataan menyeluruh terhadap dunia PMU. Upaya itu dimaksudkan agar pendidikan dan keluarannya selalu dapat memperbaharui diri dalam menghadapi berbagai perubahan yang sedang dan akan terjadi.

3.1.    Kebijakan Desentralisasi Pendidikan

Pelaksanaan program PMU tidak dapat dilepaskan dengan kebijakan desentralisasi pendidikan yang saat ini berlangsung di Indonesia. Namun demikian terdapat beberapa permasalahan yang terjadi akibat diterapkannya desentralisasi pendidikan. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya adalah:
1.    benturan regulasi;
2.    kekeliruan penetapan kebijakan;
3.    ketimpangan luasnya urusan dengan kebijakan fiskal;
4.    ketidak-konsistenan struktur dan fungsi pengelolaan pendidikan di daerah dan pusat;
5.    konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan dan dalam koordinasi antarunsur terkait secara vertikal dan horizontal;
6.    deprofesionalisasi dan politisasi pendidik di daerah;
7.    pengabaian kemampuan dan keunikan masing-masing daerah;
8.    pembiaran layanan pendidikan yang buruk;
9.    perluasan peluang penyimpangan atas berbagai ketentuan, seperti korupsi, pemalsuan  hasil  pendidikan, dan lain-lain.
Permasalahan tersebut jika tidak diatasi akan menghambat upaya pencerdasan dan pensejahteraan kehidupan bangsa melalui instrumentasi dan praksis sistem pendidikan. Tentu jika dibiarkan bukan hanya mengingkari konstitusi dari sistem pendidikan nasional tetapi juga akan menciptakan masa depan kehidupan masyarakat yang salah kelola.
Upaya mengembalikan desentralisasi pendidikan sesuai tujuan yang diamanatkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, maka diperlukan tindakan penataan ulang pembagian urusan pemerintahan dalam sektor pendidikan sehingga urusan pendidikan nasional terdistribusikan sesuai kewenangannya dalam pemerintahan, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupunpemerintah kabupaten/kota, termasuk pemerintah daerah khusus/daerah istimewa. Khususnya kewenangan yang ditugaskan dalam hal ini kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan kementerian lain penyelenggara pendidikan seperti kemenag sehingga dapat dilaksanakan secara nyata dan bertanggung jawab. Dengan desentralisasi pendidikan yang tepat sasaran akan memungkinkan terjadinya peningkatan SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi yang berguna dalam memenangi persaingan global (global competitiveness). Selain itu, melalui otonomi pendidikan diharapkan akan terjadi pemerataan mutu dan kualitas pendidikan di semua daerah dalam wilayah negara kesatuan republik Indonesia.
Menyadari potensi besar yang dimiliki Indonesia (letak geografis, sumber daya alam, kedudukan geopolitis, kekayaan sosial-kultural, peluang ekonomi, akses pada masyarakat dunia, dan spirit nilai dan moral Pancasila, kesadaran keberagaman dalam makna Bhinneka Tunggal Ika dan komitmen untuk hidup langgeng dalam NKRI yang diatur dengan UUD NRI 1945, masih sangat terbuka peluang untuk menjadikan sistem pendidikan nasional sebagai determinan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang jauh Iebih baik di masa depan. Untuk itu sangat diperlukan revitalisasi sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan dengan menerapkan sistem desentralisasi pendidikan yang nyata dan bertanggung jawab (asimentris).
Untuk itu, diperlukan komitmen bersama semua komponen bangsa khusus instrumentasi pemerintahan (pemangku kepentingan) dalam mewujudkan pengelolaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional bermutu yang terdesentralisasi secara nyata dan bertanggung jawab. Artinya, jika terlaksana sesuai sistem maka tidak perlu adanya pengembalian pengelolaan pendidikan secara terpusat (sentralisasi). Untuk mencapai hal itu, semua pemangku kepentingan perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.        Menyelaraskan seluruh tata aturan dalam sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam konteks keberagaman kondisi dan potensi daerah dalam bingkai NKRI.
b.        Meningkatkan kesadaran, komitmen, dan tanggung jawab seluruh unsur pemerintahan dalam konteks pendidikan nasional di pusat dan daerah untuk menerima dan mewujudkan amanah konstitusional pendidikan nasionalsesuai dengan kedudukan, peran, dan tanggung jawabnya masing dan secara kolektif nasional.
c.         Menata ulang urusan pendidikan nasional secara desentralisasi nyata dan bertanggung jawab (melalui pendekatan asimetris) dengan menetapkan prinsip- prinsip ketersediaan layanan pendidikan prima (availability), keterjangkauan oleh semua lapisan masyarakat (accessability), keberterimaan secara konteks ruang dan waktu (acceptability), kesesuaian dengan konteks sosial dan kultural (adaptability), dan keterujiannya secara intelektual, personal, dan sosial (assessability).
d.        Mengantisipasi secara kritis dan prospektif serta menetapkan urusan­-urusan pendidikan yang strategis dan harus dikelola secara nasional seperti kebijakan nasional pendidikan, standar nasional pendidikan, kurikulum, pendidik, pola sistem penyelenggaraan urusan pendidikan nasional di daerah, hari libur nasional, supervisi dan pengawasan strategis, dan kebijakan khusus terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh/di daerah.
e.        Menyelaraskan struktur penyelenggaraan urusan pendidikan nasional di pusat dan di daerah dengan fungsi yang diemban sesuai dengan tugas dan tanggung jawab kelembagaan secara konstitusional dan sosial ­kultural yang didukung dengan sistem fiskal yang akuntable secara nasional.
f.          Meningkatkan secara berkelanjutan kualitas kepemimpinan, managemen, dan profesionalitas pribadi dari seluruh personalia birokrasi pendidikan nasional di pusat dan daerah disertai pemberian jaminan capaian karier, kesejahteraan, dan hari tua secara berkeadilan (sesuai standar kompetensi) dan transparan.

3.2.        Pengelolaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pelaksanaan otonomi pendidikan yang telah berjalan, banyak mengalami permasalahan yang berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme pengelolaan pendidikan secara nasional. Khususnya, terjadi penurunan profesionalisme dan politisasi pendidik dan tenaga kependidikan (guru) yang secara teknis sebenarnya masih mengacu pada Kemdikbud tetapi karena kepentingan otoritas lebih kuat mengacu kepada pimpinan daerah. Akibatnya, hal-hal yang dianggap penting oleh Kemdikbud belum tentu dianggap penting oleh dinas pendidikan provinsi,  kabupaten/kota. Oleh karena itu, upaya peninjauan kembali pelaksanaan desentralisasi pendidikan khususnya yang terkait dengan pengelolaan guru semakin diperlukan.
Distribusi pengelolaan guru yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dilakukan untuk menyelamatkan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Indonesia. Hal ini sebagaimana telah dilakukan pemerintah dalam bentuk SKB lima menteri, yakni sebagai upaya penajaman kewenangan pemerintahan dalam distribusi guru secara fleksibel baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dengan menganut prinsip sukarela dan optimalisasi jumlah PTK yang ada.
Pembenahan pelaksanaan pengelolaan guru secara sentralisasi atau desentralisasi yang bertanggung jawab diperlukan adanya perangkat hukum, khususnya melalui usulan revisi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang dapat dijabarkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) termasuk revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda yang juga dijabarkan dalam bentuk PP seperti PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Melalui penetapan payung hukum yang kredibel dan profesional maka penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas akan dimungkinkan tercapai secara profesional. Artinya, adanya urusan pemerintahan, baik kewenangan pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota akan benar-benar dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan peran, kapasitas dan tanggung jawabnya. Kewenangan dalam urusan pendidikan tersebut dapat dijabarkan sesuai komponen dan substansinya yang meliputi (a) kebijakan pendidikan nasional, (b) kurikulum, (c) pembiayaan, (d) sarana dan prasarana, (e) pendidik dan tenaga kependidikan, dan (f) pengendalian mutu pendidikan.
Proses pendistribusian, penempatan, dan penugasan guru perlu dilakukan secara sistematis dalam prinsip sukarela. Sukarela artinya tidak memaksa guru untuk didistribusi ke sekolah yang mungkin bukan pilihannya. Pola distribusi guru yang dikaitkan dengan jalur karier guru di kabupaten/kota, sejak guru menjadi CPNS sampai dengan masa pensiun. Dalam jangka pendek, pemerintah kota dan kabupaten hendaknya melakukan sistem distribusi guru sesuai perencanaan sekolah. Penempatan guru di daerah khusus, perlu pendekatan khusus. Bupati atau walikota perlu mengambil kebijakan untuk menetapkan pola pengangkatan guru bagi daerah khusus agar semua warga terlayani pendidikannya.
Upaya redistribusi guru oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota perlu dilakukan mengingat terjadi kecenderungan kelebihan guru di daerah perkotaan tetapi kekurangan di daerah pinggiran dengan memberikan insentif dan kemudahan lainnya. Disisi lain, guru mata pelajaran yang melaksanakan tugas mengajar kurang dari 24 jam per minggu di sekolah (induk), hendaknya didayagunakan dengan menugaskan di sekolah lain, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta yang relatif terjangkau. Cara ini dapat mengurangi kebutuhan guru di suatu sekolah, sekaligus memenuhi azas keadilan, karena semua guru menjalankan tugas minimal 24 jam per minggu, dan sekaligus membantu upaya redistribusi guru dan meningkatkan keprofesionalannya.

3.3.        Peran Pemerintah Terhadap PMU

Pemberdayaan pemerintah daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya secara bertanggung jawab melalui penerapan ketatapemerintahan yang baik merupakan pilihan intrumentasi nasional guna mewujudkan suatu idealisme. Dengan demikian, diharapkan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kebernegaraan Indonesia mengalami perubahan kemajuan yang cepat dan meningkat kualitasnya. Guna mewujudkan hal tersebut, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, dalam suatu ketetapan regulasi nasional berbentuk desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan merupakan pelimpahan urusan pendidikan nasional secara luas kepada pemerintah kabupaten atau kota dan secara parsial terbatas kepada provinsi, sebagaimana hal-hal itu diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta ketentuan perundang-undangan turunannya. Regulasi ini sesungguhnya dianggap sebagai keniscayaan tetapi dimaksudkan secara mulia untuk peningkatan mutu proses dan luaran pendidikan melalui upaya mendekatkan layanan pendidikan dengan komitmen dan tanggung jawab yang tinggi dan merata dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan baik di daerah maupun di pusat.
Seiring dengan isu desentralisasi tersebut maka perlu ada pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerapan PMU 12 tahun. Pembagian peran inilah yang pada akhirnya akan menyukseskan program pencerdasan dan pemerataan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Berikut adalah penjelasan mengenai pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah: 

3.3.1.    Peran Pemerintah Pusat Terhadap PMU

Peran pemerintah pusat adalah :
1.    Pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan (guru)
Desentralisasi pendidikan menempatkan guru sebagai penjamin mutu pendidikan belum sepenuhnya murni berkiprah dalam profesinya. Oleh karena itu, pengelolaan guru perlu dilakukan secara terpusat mulai dari pengadaan, pengangkatan, penempatan, pembinaan, dan pengembangan karier. Pemerintah pusat dapat berperan dalam pengembangan kapasitas guru dalam rangka pemerataan pendidikan di Indonesia.
2.    Kurikulum
Pengembangan kurikulum pendidikan harus memuat empat pilar kebangsaan secara tersirat dalam setiap bidang studi, yakni Pancasila, UUD Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kebijakan pengelolaan kurikulum harus bersifat terpusat atau menjadi kewenangan pemerintah.

3.3.2.    Peran Pemerintah Provinsi PMU

Peran pemerintah provinsi adalah sebagai berikut:
1.    Pemerintah provinsi diharapkan memiliki kewenangan dalam perizinan bagi pembukaan sekolah kejuruan (SMK), pendidikan khusus, dan layanan khusus.
2.    Dalam pembinaan profesional pendidik dan tenaga kependidikan dan pemerataan mutu menjadi kewenangan provinsi.
3.    Dalam hal penyaluran pendanaan untuk sekolah guna menghindari penyalahgunaan pemfungsiannya perlu menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

3.3.3.    Peran Pemerintah Kabupaten dan Kota terhadap PMU

Peran pemerintah kabupaten dan kota yaitu:
1.    Penyediaan sarana dan prasarana
2.    Pengendalian mutu,
3.    Pengelolaan pendidikan,
4.    Kurikulum, dan
5.    pembiayaan,
6.    pembinaan  pendidik dan tenaga kependidikan (guru),
7.    perinzinan, dan
8.    pendanaan.


BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

3.1.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil review terhadap Pendidikan Menengah Universal dapat disimpulkan bahwa:
  1. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu berbagi peran dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
  2. Pemerintah kabupaten adalah ujung tombak keberhasilan program PMU agar dapat memenuhi standar mutu yang diharapkan.
  3. Kapasitas kelembagaan maupun tenaga pendidikan dan pendidik (guru) di tingkat satuan (sekolah) umumnya masih lemah.
  4. Kebijakan PMU sudah mulai digulirkan dan akan diterapkan.

3.2.    Rekomendasi

Berdasarkan hasil kajian yang dilaksanakan dapat direkomendasikan beberapa hal yaitu:
1.    Perlu sinergi antara pemerintah daerah dengan pusat;
2.    Koordinasi dalam rangka mengurangi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas antara pemerintah daerah dan pusat;
3.    Pemerintah harus melakukan program penguatan kapasitas baik kelembagaan maupun tenaga pendidikan dan pendidik (guru) di tingkat satuan pendidikan (sekolah);
Pemerintah harus melakukan program penguatan dalam rangka memenuhi delapan (8) standar nasional pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah).


[1]    M. Fakry Gaffar, Perencanaan Pendidikan: Teori dan Metodologi, Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, (Jakarta: PPLPTK, 1987) hal. 2
[2]    Anonymous, Madrasah Aliyah Kejuruan Arah dan Prospek Pengembangan, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam: 2004) hal. 1
[3]    Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 Pasal 2
[4]    Mastuhu, Menata ulang Pemikiran; Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003) Hal. 132 - 135
[5]    http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/03/27/indonesia-negara-payah-menurut-hdi-index-2011/
[6]    Hurip Danu Ismadi, Handout mata kuliah Teori-teori Manajemen Pendidikan, Program Doktor Pascasarjana Unpak Oktober 2012
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[11]   Provinsi Jambi telah melaksanakan program wajib belajar 12 tahun mulai tahun ajaran 2008/2009 yang pencanangannya bertepatan dengan peringatan Hari Keluarga Nasional, 29 – 30 Juni 2008 di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Namun belum ada laporan tingkat keberhasilannya hingga saat ini. Lihat, Parlementaria Edisi 94 TH.XLII, (Jakarta: Bagian Pemberitaan DPR RI, 2012), Hal. 26
[12]   http://www.kemdiknas.go.id/laman/berita/279

No comments: