BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keterlibatan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi
sungguh sangat menentukan, utamanya dalam mengejar ketertinggalan bangsa ini
dari bangsa-bangsa lain. Keberhasilan pembangunan itu sangat ditentukan oleh
faktor manusia, dan manusia yang menentukan keberhasilan pembangunan itu
haruslah manusia yang mempunyai kemampuan membangun. Kemampuan membangun hanya
dapat dicapai melalui pendidikan[1].
Melalui kegiatan pendidikan formal dan non formal diharapkan upaya untuk
menciptakan dan mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang religius, penuh kesadaran,
berkepribadian, cerdas, berperilaku serta memiliki kreativitas tinggi sehingga
siap untuk mengisi pembangunan..
Sumber daya manusia berkualitas merupakan aset dan
potensi bangsa yang memegang peranan sangat penting dan mendasar dalam mengisi
pembangunan di berbagai bidang. Hal ini, sesuai dengan visi bangsa sebagaimana
yang diamanatkan dalam konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya
mewujudkan kualitas sumber daya manusia bangsa tersebut tidak terlepas dari
pendidikan. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban negara melaksanakan perluasan
dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh warganya.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi bangsa salah satunya
adalah masih rendahnya mutu dan pemerataan pendidikan pada setiap jenjang dan
satuan pendidikan. Sementara itu sangatlah disadari bahwa kadar kualitas suatu
bangsa sangat tergantung dengan kualitas pendidikan warganya. Setidaknya, untuk
mengukur daya saing suatu bangsa dipengaruhi oleh tiga hal penting; pertama,
tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa; kedua,
kemampuan manajemen suatu bangsa; ketiga, kemampuan sumber daya manusia.[2]
Usaha yang
dilakukan pemerintah dalam membangun dan meningkatkan daya saing sumber daya
manusia bangsa, melalui pendidikan yang
dilakukan selama ini tetaplah bermakna dalam upaya pencerdasan bangsa, walau
tetap saja dihadapkan/dibenturkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) yang sangat cepat dan globalisasi yang berdampak
terhadap kehidupan masyarakat, baik kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan.
Upaya pemerintah tersebut melalui pencanangan wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan)
tahun yang terdiri dari program 6 (enam) tahun di sekolah dasar dan 3 (tiga)
tahun di sekolah menengah pertama[3].
Kebijakan pemerintah ini merupakan upaya nyata pemerintah untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia melalui kesempatan akses dan pemerataan pendidikan
pada masyarakat. Hal ini juga sebagai usaha dalam mencapai pendidikan yang
bermutu, beradab, dan yang dapat memanusiakan manusia perlu memperhatikan
prinsip pendidikan sepanjang hayat (lifelong
education) dan memperhatikan empat pilar
(sendi) pendidikan, yakni[4]:
(1) learning to know (belajar untuk
mengetahui), (2) learning to do
(belajar dengan berbuat), (3) learning to
be (belajar menjadi seseorang), dan (4) learning
to live together with to live others (belajar hidup bersama) dalam
pelaksanaannya.
Bercermin dari keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan
standar minimal pendidikan warganya melalui wajib belajar pendidikan dasar 9
(sembilan) tahun, kemajuan IPTEK, globalisasi dan semangat otonomi daerah,
pemerintah mengeluarkan kebijakan standar minimal pendidikan warganya hingga
jenjang pendidikan menengah atas (12 tahun). Selanjutnya kebijakan pemerintah
ini dikenal dengan program Pendidikan Menengah Universal (PMU). Kebijakan/program
ini, diberlakukan secara nasional dengan maksud: 1) lebih memperluas akses,
kesempatan dan pemerataan pendidikan pada tingkat sekolah menengah atas; 2)
meminimalisir angka putus sekolah, 3) memberikan kesempatan seluruh warga
negara usia sekolah menikmati pendidikan.
Implementasi PMU diharapkan dapat dirasakan oleh seluruh
warga negara dengan pengaktualisasian empat pilar dan prinsip-pinsip pendidikan
sepanjang hayat. Melalui PMU juga diharapkan dalam proses pendidikannya, warga
negara akan mendapatkan perolehan berupa pengetahuan, keterampilan, penguatan,
pengembangan dan penanaman sikap diri manusia (karakter kebangsaan) secara
berkualitas yang berguna bagi kehidupannya sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat.
1.2. Fokus Kajian
Banyak hal dan fakta
untuk dijadikan sebagai bahan komtemplasi (renungan) dalam dunia
pendidikan Indonesia, diantaranya data penilaian Human Development Index
(HDI) tahun 2011. Kualitas pendidikan yang punya korelasi dengan kualitas SDM
punya urutan buruk. Kualitas SDM Indonesia menurut Human
Development Index 2011 yang di release November 2011, ternyata Indonesia berada
diurutan terbawah di antara negara Asean. Kita kalah sama Philipina dan jauh
dibelakang dibandingkan dengan Malaysia.
Human development index yang mengurutkan 187 negara di dunia membagi dalam
empat columns of catergories[5]:
1.
very high human development
dimana terdapat urutan 1 sampai 47;
2.
high human development yang
memuat urutan 48 sampai 94;
3.
medium human development dengan
urutan 95 sampai 141;
4.
low human development dengan
urutan 142 sampai 187.
Indonesia masuk dalam kategori ketiga sebagai negara dengan medium human
development, dan hanya menempati urutan ke 124. Sedangkan Phillipina ada di
urutan ke 112 dan Thailand di tangga 103. Malaysia berada di katagori kedua
sebagai negara dengan high human development dan menempati urutan ke 61.
Sedangkan Singapore masuk dalam katagori very high human development dengan
urutan ke 26.
Berdasarkan data laporan data statistik world bank 2011
dan the global competitiveness report 2010 - 2011, yang menyatakan bahwa lama
sekolah berkorelasi positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) atau
human development index (HDI) sebagaimana terlihat pada grafik 1 hingga 4
berikut:
Grafik 1: Perbandingan APK AMP dan
SM Tahun 2010[6]
Grafik 2: Pentingnya Wajib Belajar
12 Tahun[7]
Grafik 3: Pentingnya
Wajib Belajar 12 Tahun[8]
Grafik 4: Manfaat Sosial dan Ekonomi
dari Pendidikan[9]
Dari grafik 1 hingga 4 di atas, terlihat bahwa lama
sekolah memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan nilai PDB per
kapita, hal ini dinyatakan dengan koefisien korelasi r = 0,93. Demikian
juga lama sekolah memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan nilai
Global Competitiveness Indeks (GCI), dengan koefisien korelasi r = 0,96. Begitu
juga hubungan lama sekolah dengan indeks pendidikan, memiliki korelasi positif
yang juga sangat tinggi, dengan koefisien korelasi r = 0,97. Bahkan lama sekolah
memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) dengan koefisien korelasi r = 0,99.
Berdasarkan
data grafik dan makna koefisien korelasi tersebut di atas, upaya menggagas,
mengimplementasikan, dan mendorong percepatan pelaksanaan PMU semakin mendesak.
Perluasan akses kepada seluruh anak
bangsa dalam rangka mendapatkan dan memasuki dunia pendidikan mulai dari
pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi merupakan dasar alasan dalam
menggagas PMU dalam menyiapkan SDM masa depan yang berkualitas. Paling tidak
ada beberapa alasan percepatan pelaksanaan PMU, yaitu[10]:
1)
keberhasilan partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan wajib belajar (wajar) 9 tahun. Artinya keberhasilan wajar 9 tahun
memiliki konsekuensi logis untuk memberikan akses bagi mereka yang telah lulus
di jenjang pendidikan dasar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah;
2) bonus
demografi, yang merupakan periode emas untuk mempersiapkan generasi baru dalam
memasuki tahun 2045, tahun ketika Indonesia memasuki usia satu abad
kemerdekaannya;
3) komitmen
pemerintah untuk menganggarkan minimal 20 % dari APBN untuk pendidikan;
4) Percepatan
capaian Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebesar 97 % di tahun
2020;
5) Mengurangi
disparitas APK antar kabupaten/kota;
6) Memperbaiki
komposisi SMA dan SMK untuk memperkuat pendidikan vokasional, dari komposisi
49:51 menjadi 55:45 antara SMK dan SMA;
7) komitmen
pemerintah di dalam menganggarkan minimal 20 % dari APBN untuk pendidikan.
Melihat alasan
percepatan pelaksanaan PMU di atas, sudah seharusnya daerah segera merespon tantangan
tersebut yang disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Melalui semangat
otonomi daerah diharapkan daerah dapat memulai gerakan Pendidikan Menengah
Universal (PMU)[11]
tanpa menunggu daerah lain, jika daerah tersebut telah siap. Artinya daerah
yang sudah siap diberi keleluasaan untuk memulai lebih awal gerakan PMU ini. Sudah
barang tentu untuk keberhasilan dalam pelaksanaan PMU ini, diperlukan kesiapan
seluruh komponen terkait terlebih pada tataran operasional pelaksananya. Untuk itu, perlu dirumuskan strategi penataan peran
pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan.
1.3. Rumusan Masalah
Pencanangan
pendidikan menengah universal sampai dengan tingkat SMA/SMK/MA merupakan
pencerminan dari kesungguhan pemerintah dalam mewujudkan tugas-tugas pelayanan
pendidikan melalui kebijakan pendidikan menengah universal 12 tahun. Kebijakan
pemerintah ini merupakan upaya nyata dari pemerintah untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dalam bentuk-bentuk pelayanan pendidikan, melalui
kesempatan pemerataan pendidikan masyarakat. Pendidikan menengah universal 12
tahun sudah menjadi keputusan pemerintah untuk segera direalisasikan, yang
dalam pelaksanaannya adalah tanggung jawab bersama antara orang tua,
masyarakat, dan pemerintah (pusat dan daerah).
Permasalahan
yang dirumuskan dalam tulisan ini dan diharapkan mampu menjawab permasalahan implementasi
PMU, yang terurai pada “Peran pemerintah daerah dalam Pendidikan Menengah
Universal (PMU)”. Dengan mengetahui berbagai permasalahan terjadi terkait
dengan pelaksanaan pendidikan dalam era otonomi daerah, diharapkan pemerintah
pusat dan daerah mampu bersinergi dalam mengoptimalkan perannya dalam
pelaksanaan PMU. Optimalisasi peran pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan
agar formulasi penerapan dapat berjalan dengan baik.
1.4. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Mengidentifikasi peran pemerintah daerah dalam Pendidikan
Menengah Universal (PMU).
2.
Mengidentifikasi permasalahan yang dialami pemerintah
daerah dalam penerapan PMU.
3.
Merumuskan strategi pengelolaan PMU bagi pemerintah
daerah.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pemikiran Program Pendidikan Menengah Universal
Keberhasilan program
Keluarga Berencana (KB) dalam menekan angka pertumbuhan penduduk menjadi sangat
berarti bagi bangsa Indonesia. Akibatnya jelas, dari keberhasilan program
tersebut, terjadi perubahan struktur umur penduduk, yaitu terjadi peningkatan
jumlah penduduk yang berada dalam usia produktif. Sementara di sisi lain jumlah
penduduk yang ada dalam usia non-produktif mengalami penurunan.
Kondisi seperti
di atas sering di kenal dengan bonus demografi. Bonus demografi ini
sesungguhnya suatu kesempatan yang sangat langka. Mencermati kondisi tersebut,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menempatkan Pendidikan Menengah Universal
(PMU) 12 tahun sebagai agenda yang harus dilaksanakan mulai tahun 2013.
Mendikbud menjelaskan, bahwa[12]:
Pendidikan Menengah Universal 12 Tahun di tempuh untuk menjaring usia produktif
di Indonesia. Lebih lanjut, dikatakan bahwa terdapat bonus demografi untuk
Indonesia pada tahun 2010 sampai dengan 2035. Artinya, sepanjang rentang tahun
ini terdapat kumpulan peserta didik usia yang potensial dan produktif.
Pada periode
bonus demografi ini pemerintah akan melakukan investasi besar-besaran dalam
bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai upaya menyiapkan
generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia merdeka. Oleh karena itu, kita harus
menyiapkan akses seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa untuk memasuki dunia
pendidikan; mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai ke perguruan
tinggi.
2.2. Pendidikan Menengah Universal
Berpijak dengan UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas pada pasal 11 ayat 1 bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi, pasal 17 pada ayat (1) pendidikan dasar
merupakan jenjang pendidikan
yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Ayat (2) tertulis bahwa
pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah
tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Berdasarkan landasan hukum di
atas dan dengan melihat kondisi nyata saat ini, Indonesia memasuki periode
bonus demografi. Untuk itu pemerintah menelurkan regulasi program Pendidikan Menengah
Universal (PMU). PMU adalah pendidikan universal yang harus diperoleh oleh
anak-anak yang memberikan bekal keilmuan dasar.
Program pendidikan menengah universal tidak jauh beda dengan program
pemerintah wajib belajar 9 tahun. Bercermin dari keberhasilan program wajib
belajar 9 tahun berjalan, pemerintah menggulirkan program pendidikan menengah
universal 12 tahun. Harapannya, melalui program PMU 12 tahun sumber daya
manusia Indonesia berpendidikan minimal sampai pada tingkatan sekolah menengah,
baik itu SMA/MA ataupun SMK. Hal ini merupakan amanat pasal 18 Undang-undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sisdiknas ayat (1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan
pendidikan dasar; (2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum
dan pendidikan menengah kejuruan. (3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah
menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Gagasan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) tersebut dilandasi
kesadaran pemerintah untuk jumlah lulusan SMA/MA atau SMK dan yang
sederajat di seluruh penjuru tanah air. Dengan program pendidikan menengah
universal, diharapkan lulusan SMA/MA atau SMK semakin meningkat sehingga secara
usia dan kompetensi mampu bersaing di dunia kerja.
Dalam melaksanakan program Pendidikan Menengah
Universal (PMU) pada 2013, pemerintah akan mengamandemen Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebagai payung hukumnya. Tiga sasaran utama
Pendidikan Menengah Universal (PMU), adalah:
1. Mendongkrak Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Menengah
Sasaran pertama adalah
mendongkrak Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah. Setelah akses
lebih terbuka, masyarakat akan di dorong untuk menuntaskan pendidikan minimal
sampai 12 tahun. Targetnya, APK pendidikan menengah pada 2020 akan mencapai 97
persen. Menurut Nuh, tanpa PMU, pertumbuhan APK akan jauh lebih lambat dan
diprediksi baru akan mencapai 97 persen sekitar tahun 2040.
2. Memperkecil Disparitas antar Kabupaten/Kota
Sasaran kedua dari program PMU
adalah memperkecil disparitas antar kabupaten/kota. Pasalnya, lanjut Nuh, saat
ini, setidaknya 71 kabupaten/kota masih memiliki APK kurang dari 50 persen.
3. Memperbaiki komposisi SMA dan SMK
Sasaran ketiga, adalah
memperbaiki komposisi SMA dan SMK. Para lulusan SMP akan memiliki akses lebih
luas untuk melanjutkan pendidikan setelah pemerintah melakukan rehabilitasi,
dan pembangunan sekolah serta ruang kelas baru. Para peserta didik juga akan
lebih didorong untuk masuk ke SMK guna menyiapkan sumber daya pekerja yang lebih
terampil.
Melalui tiga sasaran tersebut di atas, diharapkan tujuan
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan menengah dapat lebih terumuskan dan mengacu
kepada tujuan umum pendidikan sebagai berikut: (1) meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut; dan (2) meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kompetensi kejuruannya
(BSNP, 2006).
2.3. Trend Pendidikan Menengah Universal
Kebijakan
Pendidikan Universal (PMU) sebagaimana yang akan dicanangkan pemerintah pada
tahun 2013 telah diusahakan oleh UNESCO sejak tahun 2000. Fokus utama
UNESCO dalam pendidikan menengah yakni membantu negara-negara anggota mencapai
Pendidikan Untuk Semua (Educationan for
All). Tinjauan konseptual dan implementatif bahwa beberapa negara belum
dapat memenuhi salah satu atau kedua tujuan dan/atau menjadi model pendidikan
menengah universal. Namu, sebagian besar pemerintah menyadari bahwa pendidikan
menengah yang baik adalah salah satu yang berkaitan dengan pengembangan
holistik dan pemberdayaan manusia dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.
Masalah ini melibatkan persiapan untuk hidup, dunia kerja dan untuk pendidikan
tinggi. Tiga bidang fokus utama penyelesaian masalah adalah akses, kualitas dan
relevansi.
Untuk membantu negara-negara
anggota, UNESCO menggunakan pendekatan hulu dan modalitas yang spesifik untuk
menyampaikan program-programnya. Metode yang digunakan termasuk
mengidentifikasi tren baru dan prioritas untuk mempromosikan pendidikan
menengah, penelitian, pendekatan inovatif untuk menyebarkan informasi,
mempromosikan dialog kebijakan dengan pengambil kebijakan pendidikan tingkat
tinggi pemerintahan, dan pertemuan regional atau internasional. Selain itu,
lembaga dunia ini juga menggunakan jaringan global, pengalaman dan keahlian
untuk mempertemukan para pembuat kebijakan dan para ahli. Pelaksanaan PMU
di negara-negara berkembang, seperti Uganda telah diperkenalkan sejak tahun
2007 sebagai tindak lanjut dari Pendidikan Dasar Universal dengan menghilangkan
biaya pendidikan bagi siswa. Kebijakan PMU telah banyak memperluas akses
pendidikan menengah bagi keluarga Uganda, termasuk beberapa warga miskin rentan
yang tidak akan dan bahkan menganggap sekolah menengah merupakan sesuatu yang
mustahil tanpa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Pada tahun 2000, masyarakat
internasional pada Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal, menyatakan bahwa
sesuai fakta masih banyak negara yang yang belum mencapai tujuan yang telah
ditetapkan pada konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua. Para peserta
menyepakati kerangka aksi Dakar yang kembali menegaskan komitmen mereka untuk
mencapai pendidikan untuk semua pada tahun 2015, dan mengidentifikasi enam
tujuan pendidikan kunci terukur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar
semua anak, remaja dan orang dewasa pada tahun 2015. Selain itu, forum
menegaskan kembali peran UNESCO sebagai organisasi memimpin dengan tanggung
jawab keseluruhan koordinasi instansi dan organisasi lain dalam upaya untuk
mencapai tujuan tersebut.
Kerangka Aksi Dakar (2000) menetapkan tujuan yang relevan
dengan dan memiliki implikasi untuk pendidikan menengah terutama butir 3 tujuan yakni memastikan kebutuhan belajar remaja dan orang dewasa
terpenuhi melalui akses yang adil terhadap pembelajaran yang tepat dan program
keterampilan hidup (life-skill).
Sementara, tujuan ke 5 adalah tentang menghilangkan disparitas gender dalam
pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai kesetaraan gender
dalam pendidikan pada tahun 2015. Sebuah perspektif global pendidikan menengah dapat
memberikan gambaran pada masalah dan tantangan yang dihadapi terutama oleh negara-negara
berkembang dan bagaimana pengalaman dan intervensi yang sukses dari negara lain
dapat diadopsi untuk menuntaskan program PMU.
Penyediaan pendidikan menengah berkualitas relevan dengan
perubahan kebutuhan remaja dan masyarakat pada umumnya menjadi perhatian secara
universal. The UIS Pembaca Digest (2005) melaporkan bahwa data 144 dari 183
negara memiliki pendidikan wajib menengah dengan pengecualian Asia Selatan dan
Barat dengan tingkat partisipasi masing-masing 51,9%. Untuk tingkat partisipasi
sekunder, kedua wilayah tersebut tertinggal dengan tingkat partisipasi hanya
40% sedangkan tingkat partisipasi universal 90% atau lebih di sebagian besar
negara-negara di wilayah ini.
2.4. Kebijakan Pendidikan Universal (PMU)
Pendidikan
merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam
memajukan dan meningkatkan kualitas SDM di indonesia. Peranan masyarakat
sebagai pelaku utama pendidikan. Kesadaran masyarakat bahwa pendidikan bukan
sekedar formalitas belaka namun mengerti dan memahami dengan benar bagaimana
berinvestasi pada pendidikan. Peranan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan
pendidikan tidak akan maksimal tanpa partisipasi masyarakat didalamnya,
mengingat adanya pemikiran yang berkembang dikalangan masyarakat untuk investasi
didunia kerja (bekerja atau lainnya) daripada investasi pendidikan. Mungkin
masih dapat diterima jika mengacu pada masyarakat yang kurang mampu.
Pendidikan sendiri telah
didefinisikan sebagai sebuah upaya yang direncanakan untuk mendirikan suatu
lingkungan belajar dan proses kegiatan pendidikan sehingga siswa secara aktif
dapat mengembangkan/ potensi nya yang ada pada dirinya sendiri untuk
mendapatkan tingkat religius dan spiritual, kesadaran, kepribadian, kecerdasan,
perilaku dan kreativitas untuk dirinya sendiri, lainnya warga negara dan untuk
bangsa. Konstitusi juga telah mencatat kalau pendidikan di
Indonesiasecara garis besar telah dibagi menjadi dua bagian yaitu pendidikan
formal dan non-formal. Selanjutnya pendidikan formal juga masih dibagi lagi
menjadi tiga level yaitu, tingkat primer, sekunder dan pendidikan tinggi.
Sebagai langkah awal kebijakan PMU, siswa SMA/SMK juga
bakal mendapat kucuran dana bantuan operasional sekolah seperti yang selama ini
diberikan kepada siswa jenjang pendidikan dasar. ”Dalam beberapa tahun ke
depan, kenaikan anggaran pendidikan nasional cukup tinggi. Untuk BOS pendidikan
dasar tahun 2012 sudah terpenuhi. Jadi, pemerintah mulai merintis BOS untuk
SMA/SMK/MA supaya wajib belajar 12 tahun terwujud,” kata Menteri Pendidikan
Nasional Mohammad Nuh, di Jakarta. Menurut mantan rektor ITS, rintisan BOS
untuk SMA/SMK/MA ini harus dimulai karena sampai tahun 2014 salah satu fokus
kebijakan pendidikan nasional adalah mengatasi masalah keterjangkauan.
Pendidikan di jenjang SMA/SMK dirasakan masih sulit dijangkau karena masalah
biaya sekolah. Hal ini, terlihat dari angka partisipasi kasar (APK) pendidikan
menengah tahun 2009/2010 yang baru mencapai 69,6 persen. Jika wajib belajar 12
tahun telah siap, pemerintah akan menetapkan usia wajib belajar hingga
SMA/SMK/MA. Untuk pendidikan dasar, usia wajib belajar ditetapkan 7-15 tahun.
2.5. Tantangan Pelaksanaan PMU
Menurut UNESCO banyak variasi tantangan yang dihadapi
banyak negara dalam pelaksanaan PMU. Namun, apa yang disajikan pada bagian ini
hanyalah sebagian dari sekian banyak tangtangan yang dimaksud. Ketersediaan
guru, perluasan, kebijakan, dan kualitas dan relevansi. Di banyak negara
berkembang, ketersediaan guru menjadi masalah utama dan sebagian besar belum
memenuhi standar minimum profesi. Masalah lain adalah faktor kondisi pelayanan
dan de-memotivasi yang terkait erat dengan isu-isu status guru, kebutuhan
pelatihan, peran guru dalam reformasi dan renovasi pendidikan menengah, dan
jenis pengetahuan, keterampilan serta keterlibatan kaum muda yang terintegrasi
dalam proses pembangunan. Respon UNESCO untuk masalah di atas adalah inisiasi
Pendidikan Pelatihan Guru yang dikelola oleh Divisi Pendidikan Tinggi,
bertanggung jawab juga untuk Pendidikan Guru dan Pendidikan Teknis.
Selain masalah ketersediaan guru, tantangan lain berupa
artikulasi kebijakan yang terbatas antara keterkaitan tingkat pendidikan dari
pengembangan anak usia dini, dasar hingga menengah, lama belajar tersier dan
kehidupan telah gagal membawa fungsi yang sangat penting dari pendidikan
menengah dalam pencapaian EFA, MDGs dan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
berkelanjutan. Pemantauan pelaksanaan swap akan memastikan pembangunan yang
sistemik lebih holistik pendidikan.
Selanjutnya adalah kualitas dan relevansi pendidikan yang
mensyaratkan bahwa jenis pendidikan memiliki keterkaitan dengan pengalaman,
kebutuhan ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari individu dan masyarakat.
Relevansi dan kualitas pendidikan yang rendah merupakan isu politik yang
berkembang. Di Amerika Serikat misalnya analis kebijakan mengandaikan bahwa
"mengoreksi kegagalan pendidikan" terutama pada tingkat sekolah
menengah adalah tugas yang paling penting yang dihadapi bangsa (Pendidikan
Choice Amerika, "The Economist, 1 April 2000). Kurikulum pendidikan
menengah harus mencerminkan hubungan dinamis antara kualitas pendidikan dan
ekonomi produktif. Peringatan penting bertujuan untuk menghindari overloading kurikulum yang bisa
dijadikan sebagai pendekatan analitis mengatasi masalah kekurangan guru.
Program kerja dari UNESCO yang berhubungan dengan
pendidikan menengah, tetapi relevan dengan tingkat pendidikan lainnya
didasarkan pada hak atas pendidikan, dalam pendidikan dan melalui pendidikan
sebagai prinsip menyeluruh untuk meningkatkan akses universal. Selain itu,
diversifikasi isi kurikulum untuk menjamin relevansi kualitas dan lebih
responsif terhadap kebutuhan masyarakat, individu dan masyarakat pada umumnya
untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan. Selanjutnya,
kesempatan yang sama bagi kaum muda untuk mendapatkan keuntungan dari
pendidikan dasar umum dan akuisisi keterampilan melalui promosi model sistemik
pendidikan menengah yang fleksibel. Menggarisbawahi prinsip-prinsip bahwa
panduan program kerja UNESCO penting dalam memberikan perhatian khusus dalam
peningkatan kualitas melalui advokasi lingkungan keaksaraan untuk memastikan
peserta didik mencapai tingkat penguasaan dan pengembangan pengetahuan dan
ekonomi berkelanjutan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, Retno Listyarti (kompas, 30 Agustus 2012) mempertanyakan
kelayakan pelaksanaan program wajib belajar (wajar) 12 Tahun. Menurutnya,
program rintisan Pendidikan Menengah Universal (PMU) ini tak wajar untuk
dimulai karena masih menyisakan 'pekerjaan rumah' dalam program sebelumnya mengingat
program wajar 9 tahun masih belum tuntas. Program itu hanya mengurangi angka
melek huruf dan angka partisipasi kasarnya saja, tetapi secara kualitas,
pendidikan wajar 9 tahun masih jauh dikatakan dari berkualitas. Sekjen Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini menegaskan, masih banyak kepincangan yang
diwariskan pemerintah dalam pelaksanaan program wajar 9 tahun. Bahkan,
menurutnya pula, pendidikan dasar di dalam negeri masih terbengkalai meski
pemerintah telah mengklaim bahwa program wajar 9 tahun telah rampung secara
kuantitatif dengan ditunjukkannya Angka Partisipasi Kasar (APK) yang mencapai
98 persen.
Pendapat lain tentang tantangan PMU di Indonesia termasuk perbaikan jumlah subsidi Rintisan BOS dan BKM yang tentunya
harapkan akan terus naik sampai batasan yang dianggap wajar untuk kebutuhan
biaya pendidikan bagi seorang siswa SMA. Selain itu, konsekuensi dari kenaikan
ini maka berarti pula harus ada penambahan SMA/SMK atau ruang kelas baru serta
gurunya. Penambahan ruang belajar tentunya harus dibarengi dengan program
peningkatan mutu, baik mutu guru seperti pelatihan kompetensi pembelajaran,
program peningkatan kualifikasi guru dan yang tak kalah pentingnya juga
memenuhi atau menambah sarana pendukung pembelajaran seperti komputer, buku, peralatan
laboratorium serta fasilitas pendukung lainnya. Angka drop out pendidikan
menengah umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua peserta didik
membayar dana sumbangan yang dirasa masih memberatkan ini terutama terjadi di
daerah perkotaan. Untuk itu, dibutuhkan studi kajian dalam rangka melahirkan
kebijakan PMU yang konprehensif dan berterima.
Tantangan serupa juga dikemukakan oleh Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas) melalui Direktur Jenderal Pendidikan
Menengah, Hamid Muhammad mengaku masih ada kesulitan untuk mewujudkan
pendidikan wajib belajar 12 tahun. Beliau mengungkapkan, kesulitan utama untuk
mewujudkan wajib belajar 12 tahun adalah terbatasnya anggaran yang dialokasikan
Kemendiknas kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah. Hamid menyadari
bahwa mutu pendidikan yang berkualitas harus didukung dengan pembiayaan yang
mencukupi. Namun, ia mengaku tak ingin keterbatasan anggaran kemudian menjadi
beban masyarakat. Untuk itu ia berjanji akan segera memformulasikan secepat
mungkin apa saja yang menjadi keluhan masyarakat. Termasuk mengatur mahalnya
biaya pendidikan menengah yang saat ini semakin sulit untuk dikontrol dan
terasa sangat membebani para orang tua peserta didik.
2.6. Konsep PMU di Indonesia
Salah satu kebijakan pemerintah
berupa Penyiapan Pendidikan Menengah Universal yang direncanakan akan berlaku
mulai tahun 2013 sebagaimana sambutan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
pada peringatan Hari Pendidikan 2 Mei 2012. Pendidikan Menengah Universal
12 Tahun ditempuh untuk menjaring usia produktif di Indonesia. Menteri M. Nuh
menyampaikan terdapat bonus demografi untuk Indonesia pada tahun 2010 sampai
dengan 2035. Artinya, sepanjang rentang tahun ini terdapat kumpulan peserta
didik usia yang potensial dan produktif. Pada periode ini pemerintah akan
melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia
(SDM) sebagai upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia
merdeka. Untuk itu, perluasan akses seluas-luasnya perlu diberikan kepada
seluruh anak bangsa untuk memasuki berbagai jenis dan jenjang pendidikan.
Dasar hukum pelaksanaan PMU di
Indonesia sebagaimana yang tercantum pada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas Pasal 11 ayat (1) bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Selanjutnya, pada pasal
17 ayat (1) disebutkan pula bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan
yang melandasi jenjang pendidikan menengah dan ayat (2) bahwa pendidikan dasar
berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs),
atau bentuk lain yang sederajat. Konsekuensi logis dari ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk memperoleh
pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Program pendidikan menengah
universal tidak jauh beda dengan program pemerintah wajib belajar 12 tahun.
Setelah sekian lama program wajib belajar 9 tahun berjalan, akhirnya akan
diimplementasikan program wajib belajar 12 tahun. Dalam bahasa yang singkat
pemerintah telah membuat kebijakan yaitu mewajibkan pendidikan bagi peserta
didik minimal sampai pada tingkatan sekolah menengah, baik itu SMA/MA ataupun
SMK. Dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
disebutkan bahwa (1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar;
(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan
menengah kejuruan. (3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas
(SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah
aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan menengah (sebelumnya
dikenal dengan sebutan sekolah lanjutan tingkat atas atau SLTA) adalah jenjang
pendidikan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah umum diselenggarakan
oleh sekolah menengah atas (SMA) (sempat dikenal dengan "sekolah menengah
umum" atau SMU) atau madrasah aliyah (MA). Sedangkan pendidikan menengah
kejuruan diselenggarakan oleh sekolah menengah kejuruan (SMK) atau madrasah
aliyah kejuruan (MAK). Pendidikan menengah kejuruan dikelompokkan dalam bidang
kejuruan didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau
seni, dunia industri/dunia usaha.
Gagasan program Pendidikan
Menengah Universal tersebut dilandasi kesadaran pemerintah untuk jumlah lulusan
SMA/MA atau SMK dan yang sederajat di segenap penjuru di tanah air. Dengan
program pendidikan menengah universal, diharapkan lulusan SMA/MA atau SMK
semakin meningkat sehingga secara usia dan kompetensi mampu bersaing di dunia
kerja. Intervensi pemerintah pusat dalam pendidikan dilakukan untuk mengurangi Angka Drop Out dan meningkatkan kualitas
pendidikan peserta didik SMA. Mencermati kondisi tersebut
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menempatkan Pendidikan
Menengah Universal (PMU) 12 tahun sebagai agenda yang harus dilaksanakan mulai
tahun 2013.
Lebih lanjut Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, program Pendidikan Menengah Universal
(PMU) merupakan rintisan wajib belajar 12 tahun. Disebut rintisan karena hingga
saat ini, wajib belajar 12 tahun belum menjadi amanat undang-undang seperti
halnya pendidikan dasar 9 tahun. Untuk itu, Pemerintah pun segera menyiapkan
rancangan untuk amandemen Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas)
untuk melandasi perubahan wajib belajar 9 tahun menjadi wajib belajar 12 tahun.
PMU dijadikan agenda pembahasan utama dan sudah ditetapkan dalam rencana kerja
pemerintah setelah disinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato
kenegaraan dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-67,
di gedung parlemen, pada 16 Agustus 2012. Untuk mengimplementasikan kebijakan
tersebut, pemerintah bersama DPR akan menyusun anggaran untuk menjalankan
program tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
Pengimplementasian program PMU merupakan penyesuaian
pendidikan kepada tuntutan-tuntutan yang terus berkembang dalam rangka
meningkatkan kecerdasan manusia Indonesia. Dalam kerangka ini pada
pelaksanaannya harus mengacu pada kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kriteria
minimal dimaksud sebagaimana yang diinginkan dalam Standar Nasional Pendidikan
(SNP) terdiri atas; Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses,
Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana,
Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, Standar Penilaian
Pendidikan.
Kirannya di
dalam mengimplementasian PMU dapat mengintegrasikan dan menyesuaikan dengan
tujuan dan fungsi SNP sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu,
Penjaminan mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dan disempurnakan
secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global.
Memperhatikan
konsepsi-konsepsi tersebut di atas, para pendidik, para pengambil keputusan
maupun para edukator dilapangan dapat menyikapinya. Penerapan atau perubahan itu
tidak boleh superficial, tambal
sulam, dan hanya berada pada tataran sistem operasi. Perubahan itu harus
bersifat sistemik, integratif, dan holistik. Oleh karena itu pula, sudah
saatnya untuk dilakukan reorientasi dan
penataan menyeluruh terhadap dunia PMU. Upaya itu dimaksudkan agar pendidikan
dan keluarannya selalu dapat memperbaharui diri dalam menghadapi berbagai
perubahan yang sedang dan akan terjadi.
3.1. Kebijakan Desentralisasi Pendidikan
Pelaksanaan program PMU tidak dapat dilepaskan dengan
kebijakan desentralisasi pendidikan yang saat ini berlangsung di Indonesia.
Namun demikian terdapat beberapa permasalahan yang terjadi akibat diterapkannya
desentralisasi pendidikan. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya adalah:
1. benturan regulasi;
2. kekeliruan penetapan kebijakan;
3. ketimpangan luasnya urusan dengan kebijakan fiskal;
4. ketidak-konsistenan struktur dan fungsi pengelolaan
pendidikan di daerah dan pusat;
5. konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan dan dalam
koordinasi antarunsur terkait secara vertikal dan horizontal;
6. deprofesionalisasi dan politisasi pendidik di daerah;
7. pengabaian kemampuan dan keunikan masing-masing daerah;
8. pembiaran layanan pendidikan yang buruk;
9. perluasan peluang penyimpangan atas berbagai ketentuan,
seperti korupsi, pemalsuan hasil pendidikan, dan lain-lain.
Permasalahan tersebut jika tidak diatasi akan menghambat upaya pencerdasan
dan pensejahteraan kehidupan bangsa melalui instrumentasi dan praksis sistem
pendidikan. Tentu jika dibiarkan bukan hanya mengingkari konstitusi dari sistem
pendidikan nasional tetapi juga akan menciptakan masa depan kehidupan
masyarakat yang salah kelola.
Upaya mengembalikan desentralisasi pendidikan sesuai tujuan yang
diamanatkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, maka
diperlukan tindakan penataan ulang pembagian urusan pemerintahan dalam sektor
pendidikan sehingga urusan pendidikan nasional terdistribusikan sesuai
kewenangannya dalam pemerintahan, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
maupunpemerintah kabupaten/kota, termasuk pemerintah daerah khusus/daerah
istimewa. Khususnya kewenangan yang ditugaskan dalam hal ini kepada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, dan kementerian lain penyelenggara pendidikan
seperti kemenag sehingga dapat dilaksanakan secara nyata dan bertanggung jawab.
Dengan desentralisasi pendidikan yang tepat sasaran akan memungkinkan
terjadinya peningkatan SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi yang
berguna dalam memenangi persaingan global (global
competitiveness). Selain itu, melalui otonomi pendidikan diharapkan akan
terjadi pemerataan mutu dan kualitas pendidikan di semua daerah dalam wilayah
negara kesatuan republik Indonesia.
Menyadari potensi besar yang dimiliki Indonesia (letak geografis, sumber
daya alam, kedudukan geopolitis, kekayaan sosial-kultural, peluang ekonomi,
akses pada masyarakat dunia, dan spirit nilai dan moral Pancasila, kesadaran
keberagaman dalam makna Bhinneka Tunggal Ika dan komitmen untuk hidup langgeng
dalam NKRI yang diatur dengan UUD NRI 1945, masih sangat terbuka peluang untuk
menjadikan sistem pendidikan nasional sebagai determinan kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia yang jauh Iebih baik di masa depan. Untuk itu
sangat diperlukan revitalisasi sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan
dengan menerapkan sistem desentralisasi pendidikan yang nyata dan bertanggung
jawab (asimentris).
Untuk itu, diperlukan komitmen bersama semua komponen bangsa khusus
instrumentasi pemerintahan (pemangku kepentingan) dalam mewujudkan pengelolaan
dan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional bermutu yang terdesentralisasi
secara nyata dan bertanggung jawab. Artinya, jika terlaksana sesuai sistem maka
tidak perlu adanya pengembalian pengelolaan pendidikan secara terpusat
(sentralisasi). Untuk mencapai hal itu, semua pemangku kepentingan perlu
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.
Menyelaraskan
seluruh tata aturan dalam sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan fungsi
dan tujuan pendidikan nasional dalam konteks keberagaman kondisi dan potensi
daerah dalam bingkai NKRI.
b.
Meningkatkan
kesadaran, komitmen, dan tanggung jawab seluruh unsur pemerintahan dalam konteks
pendidikan nasional di pusat dan daerah untuk menerima dan mewujudkan amanah
konstitusional pendidikan nasionalsesuai dengan kedudukan, peran, dan tanggung
jawabnya masing dan secara kolektif nasional.
c.
Menata ulang
urusan pendidikan nasional secara desentralisasi nyata dan bertanggung jawab
(melalui pendekatan asimetris) dengan menetapkan prinsip- prinsip ketersediaan
layanan pendidikan prima (availability),
keterjangkauan oleh semua lapisan masyarakat (accessability), keberterimaan secara konteks ruang dan waktu (acceptability), kesesuaian dengan
konteks sosial dan kultural (adaptability),
dan keterujiannya secara intelektual, personal, dan sosial (assessability).
d.
Mengantisipasi
secara kritis dan prospektif serta menetapkan urusan-urusan pendidikan yang
strategis dan harus dikelola secara nasional seperti kebijakan nasional
pendidikan, standar nasional pendidikan, kurikulum, pendidik, pola sistem
penyelenggaraan urusan pendidikan nasional di daerah, hari libur nasional,
supervisi dan pengawasan strategis, dan kebijakan khusus terkait
penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh/di daerah.
e.
Menyelaraskan
struktur penyelenggaraan urusan pendidikan nasional di pusat dan di daerah
dengan fungsi yang diemban sesuai dengan tugas dan tanggung jawab kelembagaan
secara konstitusional dan sosial kultural yang didukung dengan sistem fiskal
yang akuntable secara nasional.
f.
Meningkatkan
secara berkelanjutan kualitas kepemimpinan, managemen, dan profesionalitas
pribadi dari seluruh personalia birokrasi pendidikan nasional di pusat dan
daerah disertai pemberian jaminan capaian karier, kesejahteraan, dan hari tua
secara berkeadilan (sesuai standar kompetensi) dan transparan.
3.2. Pengelolaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pelaksanaan otonomi pendidikan yang telah
berjalan, banyak mengalami permasalahan yang berpotensi mengganggu efektivitas,
efisiensi, dan profesionalisme pengelolaan pendidikan secara nasional.
Khususnya, terjadi penurunan profesionalisme dan politisasi pendidik dan tenaga
kependidikan (guru) yang secara teknis sebenarnya masih mengacu pada Kemdikbud
tetapi karena kepentingan otoritas lebih kuat mengacu kepada pimpinan daerah.
Akibatnya, hal-hal yang dianggap penting oleh Kemdikbud belum tentu dianggap
penting oleh dinas pendidikan provinsi,
kabupaten/kota. Oleh karena itu, upaya peninjauan kembali pelaksanaan
desentralisasi pendidikan khususnya yang terkait dengan pengelolaan guru
semakin diperlukan.
Distribusi pengelolaan guru yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat dilakukan untuk menyelamatkan dan meningkatkan mutu pendidikan
di seluruh Indonesia. Hal ini sebagaimana telah dilakukan pemerintah dalam
bentuk SKB lima menteri, yakni sebagai upaya penajaman kewenangan pemerintahan
dalam distribusi guru secara fleksibel baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun
pemerintah provinsi dengan menganut prinsip sukarela dan optimalisasi jumlah
PTK yang ada.
Pembenahan pelaksanaan pengelolaan guru secara sentralisasi atau
desentralisasi yang bertanggung jawab diperlukan adanya perangkat hukum,
khususnya melalui usulan revisi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
dapat dijabarkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) termasuk revisi UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda yang juga dijabarkan dalam bentuk PP seperti
PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dan
PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Melalui penetapan payung hukum yang kredibel dan profesional maka
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas akan dimungkinkan tercapai secara
profesional. Artinya, adanya urusan pemerintahan, baik kewenangan pemerintah
pusat, provinsi maupun kabupaten/kota akan benar-benar dipahami dan
dilaksanakan sesuai dengan peran, kapasitas dan tanggung jawabnya. Kewenangan
dalam urusan pendidikan tersebut dapat dijabarkan sesuai komponen dan
substansinya yang meliputi (a) kebijakan pendidikan nasional, (b) kurikulum,
(c) pembiayaan, (d) sarana dan prasarana, (e) pendidik dan tenaga kependidikan,
dan (f) pengendalian mutu pendidikan.
Proses pendistribusian, penempatan, dan penugasan guru perlu dilakukan
secara sistematis dalam prinsip sukarela. Sukarela artinya tidak memaksa guru
untuk didistribusi ke sekolah yang mungkin bukan pilihannya. Pola distribusi
guru yang dikaitkan dengan jalur karier guru di kabupaten/kota, sejak guru
menjadi CPNS sampai dengan masa pensiun. Dalam jangka pendek, pemerintah kota
dan kabupaten hendaknya melakukan sistem distribusi guru sesuai perencanaan
sekolah. Penempatan guru di daerah khusus, perlu pendekatan khusus. Bupati atau
walikota perlu mengambil kebijakan untuk menetapkan pola pengangkatan guru bagi
daerah khusus agar semua warga terlayani pendidikannya.
Upaya redistribusi guru oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota perlu
dilakukan mengingat terjadi kecenderungan kelebihan guru di daerah perkotaan
tetapi kekurangan di daerah pinggiran dengan memberikan insentif dan kemudahan
lainnya. Disisi lain, guru mata pelajaran yang melaksanakan tugas mengajar
kurang dari 24 jam per minggu di sekolah (induk), hendaknya didayagunakan
dengan menugaskan di sekolah lain, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta
yang relatif terjangkau. Cara ini dapat mengurangi kebutuhan guru di suatu
sekolah, sekaligus memenuhi azas keadilan, karena semua guru menjalankan tugas
minimal 24 jam per minggu, dan sekaligus membantu upaya redistribusi guru dan
meningkatkan keprofesionalannya.
3.3. Peran Pemerintah Terhadap PMU
Pemberdayaan pemerintah daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya secara bertanggung jawab
melalui penerapan
ketatapemerintahan yang
baik merupakan pilihan intrumentasi nasional
guna mewujudkan suatu idealisme. Dengan demikian, diharapkan kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kebernegaraan Indonesia mengalami perubahan
kemajuan yang cepat dan meningkat kualitasnya. Guna mewujudkan hal tersebut, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia, dalam suatu ketetapan regulasi nasional berbentuk desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan merupakan pelimpahan urusan pendidikan nasional
secara luas kepada pemerintah kabupaten atau kota dan secara parsial terbatas
kepada provinsi, sebagaimana hal-hal itu diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
beserta ketentuan perundang-undangan turunannya. Regulasi ini sesungguhnya
dianggap sebagai keniscayaan tetapi dimaksudkan secara mulia untuk peningkatan
mutu proses dan luaran pendidikan melalui upaya mendekatkan layanan pendidikan
dengan komitmen dan tanggung jawab yang tinggi dan merata dari seluruh pemangku
kepentingan pendidikan baik di daerah maupun di pusat.
Seiring dengan isu desentralisasi tersebut maka perlu ada pembagian peran
antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerapan PMU 12 tahun. Pembagian
peran inilah yang pada akhirnya akan menyukseskan program pencerdasan dan
pemerataan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Berikut adalah
penjelasan mengenai pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah:
3.3.1. Peran Pemerintah Pusat Terhadap PMU
Peran pemerintah pusat adalah :
1. Pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan
(guru)
Desentralisasi pendidikan menempatkan guru sebagai penjamin mutu pendidikan
belum sepenuhnya murni berkiprah dalam profesinya. Oleh
karena itu, pengelolaan guru perlu dilakukan secara terpusat mulai dari
pengadaan, pengangkatan, penempatan, pembinaan, dan pengembangan karier. Pemerintah
pusat dapat berperan dalam pengembangan kapasitas guru dalam rangka pemerataan
pendidikan di Indonesia.
2. Kurikulum
Pengembangan kurikulum pendidikan harus memuat empat
pilar kebangsaan secara tersirat dalam setiap bidang studi, yakni Pancasila,
UUD Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kebijakan pengelolaan kurikulum
harus bersifat terpusat atau menjadi kewenangan pemerintah.
3.3.2. Peran Pemerintah Provinsi PMU
Peran pemerintah provinsi adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah provinsi diharapkan
memiliki kewenangan dalam perizinan bagi pembukaan sekolah kejuruan (SMK),
pendidikan khusus, dan layanan khusus.
2. Dalam pembinaan profesional pendidik dan
tenaga kependidikan dan pemerataan mutu menjadi kewenangan provinsi.
3. Dalam hal penyaluran pendanaan untuk sekolah
guna menghindari penyalahgunaan pemfungsiannya perlu menjadi kewenangan
pemerintah provinsi.
3.3.3. Peran Pemerintah Kabupaten dan Kota terhadap PMU
Peran pemerintah kabupaten dan kota yaitu:
1. Penyediaan sarana dan prasarana
2. Pengendalian mutu,
3. Pengelolaan pendidikan,
4. Kurikulum, dan
5. pembiayaan,
6. pembinaan pendidik
dan tenaga kependidikan (guru),
7. perinzinan, dan
8. pendanaan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil review terhadap Pendidikan Menengah
Universal dapat disimpulkan bahwa:
- Pemerintah pusat dan daerah harus mampu berbagi peran dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
- Pemerintah kabupaten adalah ujung tombak keberhasilan program PMU agar dapat memenuhi standar mutu yang diharapkan.
- Kapasitas kelembagaan maupun tenaga pendidikan dan pendidik (guru) di tingkat satuan (sekolah) umumnya masih lemah.
- Kebijakan PMU sudah mulai digulirkan dan akan diterapkan.
3.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil kajian yang dilaksanakan dapat
direkomendasikan beberapa hal yaitu:
1.
Perlu sinergi antara pemerintah daerah dengan pusat;
2.
Koordinasi dalam rangka mengurangi tumpang tindih dalam
pelaksanaan tugas antara pemerintah daerah dan pusat;
3.
Pemerintah harus melakukan program penguatan kapasitas
baik kelembagaan maupun tenaga pendidikan dan pendidik (guru) di tingkat satuan
pendidikan (sekolah);
Pemerintah harus
melakukan program penguatan dalam rangka memenuhi delapan (8) standar nasional
pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah).
[1] M.
Fakry Gaffar, Perencanaan Pendidikan:
Teori dan Metodologi, Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, (Jakarta:
PPLPTK, 1987) hal. 2
[2] Anonymous,
Madrasah Aliyah Kejuruan Arah dan Prospek Pengembangan, (Jakarta: Dirjen
Kelembagaan Agama Islam: 2004) hal. 1
[3] Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1990 Pasal 2
[4] Mastuhu,
Menata ulang Pemikiran; Sistem Pendidikan
Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003) Hal. 132
- 135
[5] http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/03/27/indonesia-negara-payah-menurut-hdi-index-2011/
[6] Hurip
Danu Ismadi, Handout mata kuliah
Teori-teori Manajemen Pendidikan, Program Doktor Pascasarjana Unpak Oktober
2012
[7] Ibid
[8]
Ibid
[9]
Ibid
[10] 2013, Kemendikbud Garap Pendidikan Menengah Universal, www.dikti.go.id/?p=5061&lang=id,
Lihat juga: www.tp.ac.id/berita-pendidikan/pendidikan-menengah-universal-maksimalkan-sdm-ri,
Lihat juga: www.mediaindonesia.com/read/2012/11/11/361110/193/4/Kemendikbud-Targetkan-Pencapaian-97-persen-APK-PMU-pada-2020, Lihat juga: www.kemdiknas.go.id/laman/berita/279, Lihat juga: www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel-pmu
[11] Provinsi
Jambi telah melaksanakan program wajib belajar 12 tahun mulai tahun ajaran
2008/2009 yang pencanangannya bertepatan dengan peringatan Hari Keluarga
Nasional, 29 – 30 Juni 2008 di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Namun belum ada
laporan tingkat keberhasilannya hingga saat ini. Lihat, Parlementaria Edisi 94 TH.XLII, (Jakarta: Bagian Pemberitaan
DPR RI, 2012), Hal. 26
[12] http://www.kemdiknas.go.id/laman/berita/279
No comments:
Post a Comment