STRATEGI
BERTUMBUH (AGGRESSIVE STRATEGY)
PENGEMBANGAN
SEKOLAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam
kesempatan ini, kami ingin memperbincangkan strategi bertumbuh (Aggressive
Strategy) dan kaitannya dengan pengembangan sekolah, khususnya sumber daya
sekolah. Sumber daya yang dimiliki sekolah diharapkan dapat bersemangat untuk
mendukung dan menjalankan atau melaksanakan apa yang sudah dituangkan kedalam
visi dan misi sekolah. Warga sekolah yang memiliki kecakapan kerja dan punya
etos kerja keras sangat diperlukan dalam pengembangan sekolah.
Keterlibatan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi
sungguh sangat menentukan, utamanya dalam mengejar ketertinggalan bangsa ini
dari bangsa-bangsa lain. Keberhasilan pembangunan itu sangat ditentukan oleh
faktor manusia, dan manusia yang menentukan keberhasilan pembangunan itu
haruslah manusia yang mempunyai kemampuan membangun. Kemampuan membangun hanya
dapat dicapai melalui pendidikan[1].
Melalui kegiatan pendidikan formal dan non formal diharap
kan upaya untuk
menciptakan dan mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang religius, penuh kesadaran,
berkepribadian, cerdas, berperilaku serta memiliki kreativitas tinggi sehingga
siap untuk mengisi pembangunan.
Sudah banyak kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan
oleh pemerintah, seperti: wajib belajar 9 tahun, BOMM, BBE, BOS, BSM, Blogrant,
kurikulum, rintisan sekolah bertaraf nasional/internasional, sekolah berstandar
nasional/internasional, dan yang paling terakhir Pendidikan Menengah Iniversal
(PMU) atau wajib belajar 12 tahun. Seluruh kebijakan atau regulasi yang
dilakukan pemerintah sebagai strategi untuk lebih menumbuh kembangkan sekolah
menuju kearah peningkatan mutu.
Strategi bertumbuh (Aggressive Strategy) merupakan alat atau sarana yang penting bagi organisasi (sekolah) untuk lebih
maju dan unggul melebihi organisasi lainnya secara terpadu serta terencana. Dalam perkembangan selanjutnya terutama dalam
era globalisasi strategi bertumbuh merupakan instrumen yang ampuh dan tidak
dapat dihindari penggunaannya, baik untuk survival maupun dalam memenangkan
persaingan serta untuk tumbuh dan berkembang.
Makalah ini akan membicarakan strategi bertumbuh (Aggressive
Strategy) terhadap pengembangan sekolah (school
development). Diskursus pengembangan sekolah
(school development) di Indonesia belum dilandasi dengan teori yang kuat. Masih belum berjalan sempurnanya desentralisasi
pendidikan, MBS/MPMBS, life skill, school community, budaya sekolah.
Makalah ini, akan menyajikan teori strategi bertumbuh (Aggressive
Strategy) dalam disiplin manajemen
strategi sebagai dasar pengembangan sekolah dalam upaya peningkatan mutu. Hal ini, penting mengingat kondisi nyata saat ini yang dihadapi bangsa salah satunya
adalah masih rendahnya mutu dan pemerataan pendidikan pada setiap jenjang dan
satuan pendidikan.
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan
yang dirumuskan dalam tulisan ini dan diharapkan mampu menjawab permasalahan pengembangan
sekolah, yang terurai pada “strategi
bertumbuh (Aggressive
Strategy) dalam
pengembangan sekolah”. Dengan mengetahui strategi yang tepat dalam usaha
pengembangan sekolah dalam era otonomi daerah, diharapkan warga sekolah mampu
bersinergi dalam mengoptimalkan perannya dalam mengimplementasikan strategi.
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Mengidentifikasi strategi bertumbuh
dalam pengembangan sekolah.
2.
Merumuskan strategi bertumbuh dalam
pengembangan sekolah.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pengertian Strategi Bertumbuh (Aggressive Strategy)
Strategi dalam KBBI[2]
bermakna ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya untuk melaksanakan
kebijaksanaan tertentu untuk mencapai sasaran khusus. Barney dan Hesterly[3] adalah theory about how
to gain competitive advantage. Artinya strategi merupakan teori tentang
bagaimana memperoleh keunggulan kompetitif/bersaing. Sedangkan Demsetz[4] menyatakan bahwa strategy
is theory of how to achieve high levels of perfomance in the markets and
industries within which it is operating. Artinya strategi adalah teori
bagaimana mencapai kinerja tingkat tinggi di pasar dan industri di mana
perusahaan tersebut beroperasi di dalamnya.
Johnson dan Scholes[5] menyatakan bahwa strategi
adalah arah dan lingkup dari sebuah organisasi yang berlangsung jangka panjang.
Sedangkan, Quinn[6]
menyatakan bahwa strategi adalah pola atau perencanaan yang mengintegrasikan
tujuan, kebijakan dan urutan tindakan utama organisasi menjadi satu kesatuan
secara terpadu. Sementara itu, Poter[7] menyatakan bahwa strategi
merupakan alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing. Secara
sederhana Sukanto Reksohadiprodjo[8] mendefinisikan strategi
sebagai pola tindak manajemen untuk mencapai tujuan badan usaha.
Suatu organisasi dapat mengembangkan strategi
untuk mengatasi ancaman dan merebut peluang yang ada. Formulasi strategi yang
baik akan membantu pimpinan mengalokasikan sumber daya berdasarkan kompetensi
dan kekurangan-kekurangan internal, mengantisipasi perubahan lingkungan, dan
pergerakan yang tidak menentu dari lawan yang dilakukan secara terus menerus
dan senantiasa meningkat (incremental). Jadi, strategi adalah rencana yang mengandung cara komprehensif dan
integrative dengan mengintegrasikan segala sumber daya (resources) dan
kemampuan (capabilities) yang dapat dijadikan pegangan untuk bekerja, berjuang dan berbuat guna
memenangkan kompetisi.
Agresif[9] (Aggressive/offensive) memiliki makna 1) bersifat atau
bernafsu menyerang, 2) cenderung (ingin) menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal
atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Agresif bersinonim dengan offensif
yang bermakna bersifat
maju dan menyerang dalam suatu kegiatan (ekonomi, politik, olahraga, dsb)
Dari beberapa pengertian tersebut di
atas, dapatlah disimpulkan bahwa strategi bertumbuh (Aggressive Strategy) merupakan suatu
pemikiran yang logis, analitis serta konseptualisasi hal-hal prioritas (dalam
jangka panjang, pendek maupun mendesak), untuk dijadikan acuan dalam menetapkan
langkah, tindakan, kiat, dan taktik yang harus dilakukan secara terpadu agar
kegiatan terlaksana sesuai dengan tujuan, sasaran, dan hasil (output)
yang harus dicapai berdasarkan kebijakan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Strategi bertumbuh (Aggressive
Strategy) difokuskan untuk
memecahkan seluruh rintangan yang dihadapi dengan strategi yang sudah
dirumuskan. Sekolah diharapkan memiliki
kemampuan menerjemahkan strategi bertumbuh (Aggressive
Strategy) pada tataran operasional, dimulai dengan mengukur investasi,
asset, dan komponen lain yang diperlukan dalam pelaksanaan/implementasi
strategi dalam memberikan layanan belajar yang unggul dibanding dengan sekolah
sejenis.
2.2. Strategi Bertumbuh (Aggressive Strategy) Pengembangan Sekolah
Merujuk pada dunia
industri terdapat pemimpin pasar dan urutan selanjutnya disebut penantang pasar
(market Challenger). Penantang pasar merupakan perusahaan yang secara
konstan mencoba memperbesar pangsa pasar mereka secara terbuka dan langsung[10].
Dikaitkan dengan dunia sekolah, maka sekolah unggulan merupakan pemimpin
pasarnya sedangkan sekolah-sekolah lain merupakan penantang pasar.
Sekolah
pemimpin pasar akan selalu berusaha agar kepemimpinannya tidak diraih oleh
sekolah yang lain. Sementara sekolah-sekolah lainnya akan selalu berusaha
dengan segenap daya upaya (strategi) untuk merebut posisi pemimpin pasar itu. Dalam
konteks ini[11],
pimpinan akan mengambil keputusan untuk melakukan ekspansi dengan mengambil
kebijakan berupa meningkatkan program (intern), seperti:
1. Pertumbuhan internal : meningkatkan
penjualan, kapasitas produksi, dan tenaga kerja;
2. Integrasi horizontal : mengakuisisi
badan usaha lain yang bergerak pada usaha yang sama (meningkatkan pangsa pasar);
3. Diversifikasi horizontal : mengakuisisi
badan usaha lain yang masih bertalian;
4. Diversifikasi vertikal : mengembangkan/ekspansi
pada usaha lain;
5. Integrasi vertikal bebas : merger
badan usaha dari hulu hingga hilir;
6. Integrasi vertikal berkaitan : mengembangkan
usaha di bidang lain;
7. Merger : menggabungkan dua atau lebih badan usaha menjadi satu;
8. Aliansi : kerja sama dua atau lebih badan usaha dalam mengerjakan proyek.
Sementara
itu, Michael E. Porter[12]
menganjurkan dalam implementasi strategi bertumbuh dengan tiga pendekatan,
yaitu:
1. Keunggulan biaya menyeluruh:
Melalui
seperangkat kebijakan fungsional yang ditujukan pada sasaran utama.
Pengendalian biaya secara agresif, efisien, efektif, berkelanjutan. Tindakannya
bukan hanya mengembangkan tetapi membuat lebih baik dan mudah serta memberikan
harga yang murah.
2. Diferensiasi:
Diferensiasi
produk dan jasa yang ditawarkan dengan menciptakan sesuatu yang baru dan
dirasakan secara menyeluruh sebagai hal yang unik.
3. Fokus: Selalu berfokus pada
segmen atau pelanggan.
Untuk
mengimplementasikan kebijakan itu, pimpinan dapat melakukan identifikasi kekuatan
dan kelemahan sekolahnya secara internal maupun eksternal. Analisis dapat
dilakukan salah satunya dengan metode SWOT. Analisis SWOT merupakan sebuah
metode untuk menguji strategi-strategi yang potensial yang dikembangkan atas
dasar kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Melalui pengkombinasian masing-masing unsur dan data yang luas yang telah terkumpul sebagai hasil
analisis dapat berfungsi sebagai pemicu diskusi dan perbaikan strategi yang
selama ini telah digunakan atau mengembangkan strategi-strategi baru. Matrik
SWOT dapat membantu pengembangan strategi dengan menggunakan alat SWOT Analysis
ini.
Matrik SWOT pada dasarnya merupakan daftar dari kekuatan, kelemahan,
peluang, ancaman, serta kombinasi dari Strengths (S) dan Opportunities
(O), Strengths (S) dan Threats (T), Weaknesses (W) dan Opportunities
(O), Weaknesses (W) dan Threats (T). Berikut diagram SWOT:
PELUANG (O)
|
ANCAMAN (T)
|
KEKUATAN (S)
|
KELEMAHAN (W)
|
1.Mendukung Strategi Agresif
|
3. Mendukung Strategi Turn-around
|
2.Mendukung Strategi Diversifikasi
|
4. Mendukung Strategi Defensif
|
Dengan
memperhatikan diagram analisa SWOT di atas, pada kuadran I mendukung strategi
bertumbuh (aggressive strategy). Pada Kuadran I ini, merupakan posisi yang sangat kuat, menguntungkan dan banyak peluang yang teridentifikasi (S-O). Sekolah dapat menggunakan strategi ini untuk memanfaatkan peluang berdasarkan kekuatan yang dimiliki
secara maksimal. Sekolah juga seyogyanya menerapkan strategi ini dalam mendukung
kebijakan pertumbuhan yang agresif
Berdasarkan
hasil analisis sekolah dapat memperhitungkan
dan memanfaatkan dengan baik setiap peluang di luar untuk peningkatan
pengembangan atau mutu sekolah. Di saat bersamaan, juga dapat mengetahui dan
memanfaatkan potensi internal. Dengan menganalisa faktor eksternal juga, mampu
mengantisipasi tantangan dari setiap perubahan eksternal, bahkan mengubahnya
(tantangan) menjadi peluang baru.
Saat ini, tinggalkan strategi lama yaitu strategi saling mengalahkan,
karena hanya menguras banyak biaya, tenaga, dan pikiran. Strategi saling
mengalahkan dikenal dengan istilah zero sum games. Strategi terbaik yang harus
digunakan adalah memenangkan suatu pertempuran tanpa ada peperangan. Strategi
ini dikenal dengan pola keluar dari persaingan Lautan Merah (Red Ocean),
dan berpindah ke Lautan Biru (Blue Ocean). Jadi masing-masing pihak
bukan berpikir dan berlaku saling mengalahkan, melainkan berusaha saling
mendukung dengan keunggulan masing-masing untuk mencapai suatu target secara
bersama-sama. Strategi kerjasama seperti itu lebih mampu mendatangkan sinergi
positif dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Untuk
itu, sekolah perlu upaya mendorong segenap warganya meningkatkan diversifikasi
layanan pendidikan atau meningkatkan standar kualitas layanan di atas standar
yang berlaku umum, standar nasional dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain di
sekitarnya.
2.3. Trend Strategi Bertumbuh (Aggressive Strategy) Pengembangan Sekolah
Trend
pengembangan sekolah pada dekade sekarang harus segera dilakukan. Beberapa
permasalahan yang menjadi faktor pengungkit menurut penulis sebagai berikut:
1. Perubahan besar abad pada
abad XXI, yaitu: 1) pertumbuhan ekonomi yang pesar; 2) pertumbuhan penduduk; 3)
masalah lingkungan dan pemanasan global; 4) kemiskinan dan penyakit rakyat.[13]
2. Ingin menjadi bangsa yang
bermartabat, berkarakter, dan masyarakatnya memiliki nilai tambah (added
value), dan nilai jual yang dapat ditawarkan kepada orang atau bangsa lain
sehingga dapat bersaing, bersanding, berkompetisi dalam percaturan global.
3. Hampir setiap hari,
televisi secara bebas menayangkan (mempertontonkan) acara-acara yang tidak
mendidik dan berkepribadian Indonesia. Perilaku kekerasan, sadisme, mutulasi,
premanisme, kejahatan, perjudian, perkelahian (antar pelajar/kampung), geng
motor, perselikungan, kawin siri, pelecehan seksual, penyalahgunaan obat-obat
terlarang, korupsi, kolusi dan nepotisme. Betapa mirisnya melihat hal-hal
tersebut, dan kelihatannya telah membudaya dalam sebagian masyarakat dan
pejabat.
Hal-hal
tersebut di atas, merupakan masalah yang dihadapi umat manusia dan yang akan
menentukan nasib selanjutnya dari keberlangsungan hidup selanjutnya. Merujuk
pada contoh-contoh di atas, hal tersebut tidak dapat dipungkiri merupakan
potret kualitas pendidikan dan kualitas sumber daya manusia kita. Hal tersebut
juga, sekaligus merupakan potret rapuh dan rendahnya pondasi moral dan
spiritual bangsa ini pada titik nadir.
Kondisi
dan kenyataan menyedihkan tersebut di atas, haruslah menjadi faktor pengungkit
untuk melakukan pengembangan sekolah (mutu pendidikan) yang dilakukan secara
simultan dan terus menerus oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini, karena
pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah
dan masyarakat dalam memajukan dan meningkatkan kualitas SDM di Indonesia.
Peranan masyarakat sebagai pelaku utama pendidikan. Masyarakat harus memahami bahwa
pendidikan bukan sekedar formalitas belaka namun harus mengerti dan memahami
dengan benar bagaimana berinvestasi pada pendidikan. Hal ini, dilakukan jika kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat,
berkarakter, dan masyarakatnya memiliki nilai tambah (added value), dan
nilai jual yang dapat ditawarkan kepada orang atau bangsa lain sehingga dapat
bersaing, bersanding, berkompetisi dalam percaturan global.
Dalam
melakukan pengembangan sekolah, hendaknya yang yang menjadi tujuan akhir (output)
menghasilkan insan yang bermutu, produktif, kreatif, inovatif, dan berkarakter.
Hal ini, menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua di tengah iklim perpolitikan
yang kurang kondusif (cenderung mengarah pada kebebasan yang kurang terkendali)
sehingga banyak menimbulkan dampak negatif pada berbagai kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Kaitannya dengan dunia pendidikan
dan merujuk pada manajemen strategi pada dunia bisnis dapat dimanfaatkan untuk
memprediksi kecendrungan pasar dan peluang-peluang memperoleh keunggulan bersaing.
Manajemen strategi berusaha untuk memformulasikan strategi berdasarkan
pengkajian terhadap lingkungan eksternal dan internal, dengan
mengidentifikasikan ATHG (peluang), mengimplementasikan strategi, serta menilai
dan mengawasi pelaksanaan strategi berdasarkan nilai-nilai idiil, tujuan, serta
budaya dan aturan yang mengikat[14].
Pendekatan yang sistematis bagi
suatu tanggung jawab manajemen, mengkondisikan organisasi ke posisi yang
dipastikan mencapai tujuan dengan cara yang akan menyakinkan keberhasilan yang
berkelanjutan dan membuat perusahaan (sekolah) menjamin atau mengamankan yang
mengejutkan[15].
Melalui manajemen strategis, pemimpin sekolah dapat mengaplikasikannya dalam
penyusunan strategi program sekolah dengan memperhatikan kompetisi antar sekolah.
Menurut Michael
E. Porter, sifat dan tingkat kompetisi dalam suatu
industri bergantung pada lima kekuatan, yaitu[16] :
a. Persaingan antar perusahaan saingan;
b. Potensi masuknya pesaing baru;
c. Ancaman dari produk pengganti;
d. Kekuatan tawar menawar pemasok;
e. Kekuatan tawar menawar konsumen.
Produk
|
Pemasok
|
Pendatang
Potensial
|
Ancaman
Pendatang baru
|
Pesaing
Pertarungan
Antara perusahaan-
perusahaan yang ada
|
Daya Tawar
Pembeli
|
Ancaman produk Jasa Substitusi
|
Hubungan dari
kekuatan serikat pekerja, pemberintah, dsb
|
Daya Tawar
Pemasok
|
Pembeli
|
Suatu keniscayaan melalui
perencanaan pendidikan (pengembangan sekolah), komitmen dan memperhatikan
tingkatan kompetisi yang ada dengan seksama, maka dihasilkan suatu lingkungan
dan proses kegiatan belajar yang kondusif dan sehat sehingga siswa secara aktif
dapat mengembangkan/ potensinya agar mendapatkan tingkat religius dan
spiritual, kesadaran, kepribadian, kecerdasan, perilaku dan kreativitas untuk
dirinya sendiri, sebagai warga negara dan untuk bangsa.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Implementasian Strategi Sertumbuh (Aggressive Strategy) Pengembangan Sekolah
Pengimplementasian
strategi bertumbuh (aggressive strategy) untuk pengembangan sekolah
merupakan penyesuaian pendidikan kepada tuntutan-tuntutan yang terus berkembang
dalam rangka meningkatkan kecerdasan manusia Indonesia. Dalam kerangka ini pada
pelaksanaannya harus mengacu pada kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kriteria minimal dimaksud sebagaimana yang
diinginkan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP)[17] terdiri atas; Standar Kompetensi
Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar
Pembiayaan Pendidikan, Standar Penilaian Pendidikan.
Kiranya di dalam mengimplementasian strategi bertumbuh (aggressive
strategy) dapat mengintegrasikan dan menyesuaikan dengan tujuan dan fungsi SNP
sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam
rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, Penjaminan mutu pendidikan
nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat, dan disempurnakan secara terencana, terarah,
dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional,
dan global.
Memperhatikan konsepsi-konsepsi tersebut di atas, para pendidik, para pengambil
keputusan maupun para edukator dilapangan dapat menyikapinya. Perubahan itu harus bersifat sistemik, integratif, dan
holistik. Oleh karena itu pula, sudah saatnya untuk dilakukan reorientasi dan penataan menyeluruh terhadap
pengembangan sekolah.
Paling tidak ada dua cara yang dapat dilakukan
sekolah/madrasah untuk melakukan pengembangan sekolah/madrasah dengan
melaksanakan dan memenuhi delapan unsur SNP sebagai indikator kinerja minimal
ditambah dengan faktor X sebagai indikator kinerja tambahan. Indikator
kinerja tambahan itu, yaitu: 1) adaptasi, adalah penyesuaian unsur-unsur
tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama) dengan standar
pendidikan salah satu sekolah yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang
pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu, ditandai lulusannya memiliki
kompetensi; 2) adopsi, adalah penambahan atau
pengayaan/pendalaman/penguatan/ perluasan dari unsur-unsur tertentu yang belum
ada diantara delapan unsur SNP dengan mengacu pada standar pendidikan salah
satu sekolah.
Upaya
pengimplementasian strategi bertumbuh (aggressive strategy) pengembangan
sekolah itu dapat dilihat dari berbagai komponen dan karakteristik komponen, antara
lain: budaya sekolah (school culture), manajemen berbasis sekolah/madrasah, kecakapan hidup (life
skill), efektif dan efisien pengelolaan, dan pengembangan mutu belajar
aktif serta peran pemerintah. Oleh karena itu, sekolah harus selalu dapat
memperbaharui diri dalam menghadapi berbagai perubahan yang sedang dan akan
terjadi.
3.1.1. Budaya Sekolah/Madrasah
Budaya sekolah (school culture)
merupakan apa yang warga sekolah rasakan dan bagaimana persepsinya menciptakan
suatu pola teladan, kepercayaan, nilai-nilai dan harapan[18]. Nilai-nilai yang berupa kesadaran, hasrat,
efektif dari keinginan orang sehingga memandu perilakunya. Namun, dalam kurun waktu sejak orde reformasi digulirkan, dapat dilihat
dan rasakan degradasi moral bangsa (budaya sekolah) ini menukik tajam. Ujian
Nasional (UN) yang diberlakukan sejak tahun 2002, dalam implementasinya telah
membawa wabah kecurangan, kebocoran, dan penyimpangan-penyimpangan secara
sistemik dan sistematis. Penentuan kelulusan siswa hanya didasarkan pada mata
pelajaran yang di UN kan, memaksa sekolah-sekolah dan siswa melakukan
kecurangan berjamaah. Kondisi ini,
membawa dampak setiap sekolah pada musim UN mempersiapkan team sukses,
melaksanakan les tambahan yang hanya membahas soal-soal. Hal yang paling
membuat miris adalah melihat kenyataan pada siswa yang tidak lulus ada yang
nekad mengakhiri hidupnya, guru dan siswa berurusan dengan polisi.
Ilustrasi di atas, menggambarkan boleh jadi guru dan
siswa telah kehilangan ruh dan nilai-nilai kejujuran dalam praktik pendidikan. Sekolah
berubah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk mengembangkan kreativitas
bagi siswa tetapi menjadi penjara. Untuk mengembalikan ruh dan nilai-nilai
kejujuran dalam praktik pendidikan, diperlukan upaya bersama dalam
mendisiplinkannya. Disiplin untuk mentaati, menerapkan, dan menjalankan
aturan-aturan yang telah dibuat bersama.
Secara sederhana, dapat saja dimulai dari hal-hal kecil,
seperti; ucapkan salam saat bertemu, ucapkan terima kasih kepada guru saat
selesai pembelajaran, ucapkan maaf jika melakukan kesalahan, ucapkan tolong
saat meminta bantuan, ucapkan selamat sebagai bentuk rasa hormat (respect),
berjabat tangan, diharamkan mencontek, memalak, dan lain sebagainya. Hal-hal
tersebut jika dilaksanakan secara disiplin dan konsisten serta memberian sanksi
kepada yang melanggar, boleh jadi akan
menjadikan budaya pada sekolah.
Budaya sekolah (school culture) selama
ini tidak menjadi perhatian yang serius dan sungguh-sungguh dari pengelola
pendidikan. Budaya sekolah sangat perlu dibangun berdasarkan kekuatan karakteristik
budaya lokal masyarakat tempat sekolah berada. Budaya sekolah merupakan denyut
jantung sekolah yang perumusannya harus melibatkan seluruh warga sekolah
(pendidik, tenaga kependidikan, siswa, dan komite sekolah) dengan dilandasi
komitmen yang jelas dan terukur.
Budaya sekolah (school culture) seharusnya
dapat menghasilkan kepercayaan yang biasanya dipengaruhi oleh keberhasilan
komitmen, kepemimpinan, kepedulian, dan menghormati yang juga dipenuhi dengan
integritas dan konsistensi[19]. Budaya sekolah (school culture) akan
mengikat soliditas warga sekolah karena diikuti dengan nilai yang dimiliki
bersama (shared Values).
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa budaya sekolah merupakan upaya
strategis sebagai pembentukan sikap dan perilaku kerja/belajar yang handal bagi
seluruh warga sekolah yang didasarkan atas visi, misi, dan tata nilai, guna
menghadapi tantangan di masa mendatang. Melalui budaya sekolah akan terjalin
dan terinternalisasi perilaku warga sekolah sehingga akan berkomitmen pada
tugasnya yang tercermin pada peningkatan kinerja/belajar seluruh warga sekolah
dan mewujudkan tata kelola yang efektif dan efisien melalui perubahan sikap dan
perilaku yang jujur, disiplin, profesional, kreatif, inovatif, berkarakter,
bertanggung jawab, dan produktif. Boleh jadi, budaya sekolah ini akan menjadi
pembeda dan unggulan antara sekolah.
3.1.2. Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS/M)
Manajemen berbasis sekolah atau School Based
Management[20]
adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah
dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara
langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu
sekolah dalam mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.
Makna dari MBS yaitu otonomi dan pengambilan
keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat
diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan
mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan dengan peraturan
perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang dimaksud
harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil
keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat,
kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang
terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan
bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu
cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik, di mana warga sekolah (pendidik, tenaga kependidikan, siswa, komite
sekolah) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika seseorang
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang
bersangkutan akan merasa memiliki keputusan tersebut, sehingga yang
bersangkutan akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai
tujuan sekolah. Dengan MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang
lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di
antaranya meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana
peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi
peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga memiliki kemandirian dalam
menggali partisipasi kelompok yang berkepentingan dengan sekolah[21].
Melalui penerapan MBS akan nampak karakteristik
lainnya dari profil sekolah mandiri, seperti: 1) pengelolaan sekolah akan lebih
desentralistik; 2) perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal
dari pada diatur oleh luar sekolah; 3) regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana;
4) peranan para pengawas bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dari
mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola
resiko; 5) akan mengalami peningkatan manajemen; 6) dalam bekerja akan
menggunakan team work; 7) pengelolaan informasi akan lebih mengarah kesemua
kelompok kepentingan sekolah; 8) manajemen sekolah akan lebih menggunakan
pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih
sederhana dan efisien.
Kesimpulannya, melalui MBS akan tercipta
pengelolaan sekolah secara profesional yang didukung oleh informasi,
pengetahuan, ketrampilan, dan insentif yang berorientasi pada pencapaian mutu,
efektivitas, efisiensi, dan kemandirian yang mengacu pada visi dan misi yang
telah ditetapkan untuk mencapai target dan tujuan. MBS juga memberikan
kebebasan (freedom of choice), sehingga dibutuhkan kecerdasan dan
kemampuan menangkap fenomena untuk membuat program-program unggulan yang
disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
3.1.3. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education)
Agar
pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup yakni memiliki
keberanian dari kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan yang wajar
tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu
mengatasinya diperlukan pendidikan yang menerapkan prinsip pendidikan berbasis
luas (Broad Based Education) yang tidak hanya berorientasi pada bidang
akademik atau keterampilan saja tetapi juga belajar teori dan mempraktekkannya
untuk memecahkan problema kehidupannya.
Pendidikan
dengan berorientasi pada kecakapan hidup (Life Skill) bertujuan untuk
mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk
memecahkan problema yang dihadapi dan memberikan kesempatan kepada sekolah
untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip
pendidikan berbasis luas serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
lingkungan sekolah dengan memberi peluang pemanfaatan sesuai dengan yang ada di
masyarakat sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Kecakapan
hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, kecakapan hidup dapat dipilih
menjadi kecakapan mengenal diri (kemampuan personal) kecakapan berfikir
rasional, kecakapan sosial kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Boleh
jadi program kecakapan hidup ini akan menjadi unggulan dari antar sekolah.
3.1.4. Pengelolaan Sekolah yang Efektif dan Efisien
Sekolah
efektif ditunjukkan dengan kemampuan sekolah dalam menjalankan fungsinya secara
maksimal, baik fungsi ekonomis, fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis,
fungsi budaya maupun fungsi pendidikan. Fungsi ekonomis sekolah adalah
memberi bekal kepada siswa agar dapat melakukan aktivitas ekonomi sehingga
dapat hidup sejahtera. Fungsi sosial kemanusiaan sekolah adalah sebagai
media bagi siswa untuk beradaptasi dengan kehidupan masyarakat. Fungsi
politis sekolah adalah sebagai wahana untuk memperoleh pengetahuan tentang hak
dan kewajiban sebagai warga negara. Fungsi budaya adalah media untuk
melakukan transmisi dan transformasi budaya. Adapun fungsi pendidikan
adalah sekolah sebagai wahana untuk proses pendewasaan dan pembentukkan
kepribadian siswa.
Dalam
upaya menuju sekolah mandiri dan unggul, haruslah berani menciptakan sekolah
yang efektif. Sekolah yang efektif ditandai oleh: 1) visi dan misi yang jelas
dan target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan secara
lokal; 2) Sekolah memiliki output yang selalu meningkat setiap tahun; 3)
Lingkungan sekolah aman, tertib, dan menyenangkan bagi warga sekolah; 4)
Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk
berprestasi secara optimal; 5) Sekolah memiliki sistem evaluasi yang kontinyu
dan komprehensif terhadap berbagai aspek akademik dan non akademik.
Sekolah
dalam penyelenggaraannya haruslah efektif dan efisien. Efisiensi artinya
pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas sehingga mencapai
optimalisasi yang tinggi. Sekolah dikatakan efisien jika tercapai: 1)
penurunan DO dan mengulang kelas; 2) pemetaan mutu sekolah berdasarkan pada SPM
(Standar Pelayanan Minimal) dan Manajemen; 3) Pengembangan sistem
penilaian hasil belajar (penilaian kelas dan ujian akhir sekolah); 4)
pengawasan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
3.2. Peran Pemerintah dalam Strategi Bertumbuh Pengembangan Sekolah
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang dapat dijabarkan dalam
bentuk peraturan pemerintah (PP) termasuk revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemda (otonomi daerah) yang juga dijabarkan dalam bentuk PP seperti PP Nomor 17
Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dan PP Nomor 38
Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, pengelolaan pendidikan masuk pada
ranah desentralisasi.
Kebijakan desentralisasi pendidikan yang saat ini
berlangsung membawa beberapa permasalahan, seperti:
1. benturan regulasi;
2. kekeliruan penetapan
kebijakan;
3. ketimpangan luasnya
urusan dengan kebijakan fiskal;
4. ketidak-konsistenan
struktur dan fungsi pengelolaan pendidikan di daerah dan pusat;
5. konflik kepentingan
dalam pengambilan keputusan dan dalam koordinasi antarunsur terkait secara
vertikal dan horizontal;
6. deprofesionalisasi dan
politisasi pendidik di daerah;
7. pengabaian kemampuan dan
keunikan masing-masing daerah;
8. pembiaran layanan
pendidikan yang buruk;
9. perluasan peluang
penyimpangan atas berbagai ketentuan, seperti korupsi, pemalsuan hasil
pendidikan, dan lain-lain.
Permasalahan tersebut jika tidak diatasi akan menghambat upaya pencerdasan
dan pensejahteraan kehidupan bangsa melalui instrumentasi dan praksis sistem
pendidikan. Tentu jika dibiarkan bukan hanya mengingkari konstitusi dari sistem
pendidikan nasional tetapi juga akan menciptakan masa depan kehidupan
masyarakat yang salah kelola.
Dengan desentralisasi pendidikan yang tepat sasaran akan memungkinkan
terjadinya peningkatan SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi yang
berguna dalam memenangi persaingan global (global
competitiveness). Selain itu, melalui otonomi pendidikan diharapkan akan
terjadi pemerataan mutu dan kualitas pendidikan di semua daerah dalam wilayah
negara kesatuan republik Indonesia.
Untuk itu, diperlukan komitmen bersama semua komponen bangsa khusus
instrumentasi pemerintahan (pemangku kepentingan) dalam mewujudkan pengelolaan
dan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional bermutu yang terdesentralisasi
secara nyata dan bertanggung jawab. Untuk mencapai hal itu, semua pemangku
kepentingan perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.
Menyelaraskan seluruh tata aturan dalam sistem pendidikan nasional untuk
mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam konteks keberagaman
kondisi dan potensi daerah dalam bingkai NKRI.
b.
Meningkatkan kesadaran, komitmen, dan tanggung jawab seluruh unsur
pemerintahan dalam konteks pendidikan nasional di pusat dan daerah untuk
menerima dan mewujudkan amanah konstitusional pendidikan nasionalsesuai dengan
kedudukan, peran, dan tanggung jawabnya masing dan secara kolektif nasional.
c.
Menata ulang urusan pendidikan nasional secara desentralisasi nyata dan
bertanggung jawab (melalui pendekatan asimetris) dengan menetapkan prinsip-
prinsip ketersediaan layanan pendidikan prima (availability), keterjangkauan oleh semua lapisan masyarakat (accessability), keberterimaan secara
konteks ruang dan waktu (acceptability),
kesesuaian dengan konteks sosial dan kultural (adaptability), dan keterujiannya secara intelektual, personal, dan
sosial (assessability).
d.
Mengantisipasi secara kritis dan prospektif serta menetapkan urusan-urusan
pendidikan yang strategis dan harus dikelola secara nasional seperti kebijakan
nasional pendidikan, standar nasional pendidikan, kurikulum, pendidik, pola
sistem penyelenggaraan urusan pendidikan nasional di daerah, hari libur
nasional, supervisi dan pengawasan strategis, dan kebijakan khusus terkait
penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh/di daerah.
e.
Menyelaraskan struktur penyelenggaraan urusan pendidikan nasional di pusat
dan di daerah dengan fungsi yang diemban sesuai dengan tugas dan tanggung jawab
kelembagaan secara konstitusional dan sosial kultural yang didukung dengan
sistem fiskal yang akuntable secara nasional.
Dari paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa peran pemerintah dalam otonomi daerah dapat memperbesar
kesempatan/peluang kepada setiap sekolah membuat kebijakan sekolah (school
policy) masing-masing atas dasar konsep manajemen berbasis sekolah dan
pendidikan berbasis masyarakat. Hal ini, boleh jadi akan memacu setiap sekolah
untuk melakukan dan melaksanakan program-program terbaiknya.
[1] M.
Fakry Gaffar, Perencanaan Pendidikan:
Teori dan Metodologi, Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, (Jakarta:
PPLPTK, 1987) hal. 2
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[3] Barney, Jay B., dan William S. Hesterly. “Strategic
Management and Competitive Advantage: Concept and Cases.” (New Jersey: Pearson
Prentice Hall, 2008). Hal. 4
[4] Ibid, Hal. 5
[6] Grant, Robert M. “Contemporary Strategy Analysis.”
Malden MA: Blackwell Publishing, 2005. Hal. 21
[7]
Freddy Rangkuti. “Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis.”
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Hal. 3 - 4
[10] Agustinus Sri Wahyudi, Manajemen
Strategik: Pengantar Proses Berpikir Strategik, (Jakarta: Bumi Aksara,
1996) Hal. 172
[12] Michael E. Porter, “Strategi Bersaing (Competitive Strategy): Teknik Menganalisis
Industri dan Pesaing.” Alih bahasa: Sigit Suryanto. Tangerang: Karisma, 2007.
Hal. 71 - 77
[13] H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho. “Kebijakan Pendidikan: Pengantar
untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan
Publik.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Hal. 337
[15] Ansoff
dalam Syaiful Sagala. “Manajemen Strategik dalam
Peningkatan Mutu Pendidikan: Pembuka Ruang Kreativitas, Inovasi dan
Pemberdayaan Potensi Sekolah dalam Sistem Otonomi Sekolah .” Bandung: Alfabeta,
2011. Hal. 129
[16] Michael E. Porter, “Strategi
Bersaing (Competitive Strategy): Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing.”
Alih bahasa: Sigit Suryanto. Tangerang: Karisma, 2007. Hal. 34, Lihat Juga, Fred R. David, 2009:146) Strategic Management
[17] Lebih jelas penjabaran tentang SNP, lihat PP
No. 19 Tahun 2005 dan PP No. 32 Tahun 2013)
[18]
Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi. “Kepemimpinan
dan Perilaku Organisasi.” Jakarta: RajGrafindo Persada, 2012. Hal. 256 - 257
[20] Implementasi MBS
seiring dengan pelaksanaan PP No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daera
dengan prinsip desentralisasi pemerintahan dan PP. 25 Tahun 1999 tentang
kewenangan pemerintah dan provinsi sebagai daerah otonom.
[21] Umaedi. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Pengelolaan Sekolah Untuk Peningkatan
Mutu. (Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jendral
Pendidikan Dasar Dan Menengah, Depdiknas, 1999).
No comments:
Post a Comment