Translate

Tuesday 20 August 2013

STRATEGI BERTUMBUH (AGGRESSIVE STRATEGY)


STRATEGI BERTUMBUH (AGGRESSIVE STRATEGY)
PENGEMBANGAN SEKOLAH


BAB I
PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang

Dalam kesempatan ini, kami ingin memperbincangkan strategi bertumbuh (Aggressive Strategy) dan kaitannya dengan pengembangan sekolah, khususnya sumber daya sekolah. Sumber daya yang dimiliki sekolah diharapkan dapat bersemangat untuk mendukung dan menjalankan atau melaksanakan apa yang sudah dituangkan kedalam visi dan misi sekolah. Warga sekolah yang memiliki kecakapan kerja dan punya etos kerja keras sangat diperlukan dalam pengembangan sekolah.
Keterlibatan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi sungguh sangat menentukan, utamanya dalam mengejar ketertinggalan bangsa ini dari bangsa-bangsa lain. Keberhasilan pembangunan itu sangat ditentukan oleh faktor manusia, dan manusia yang menentukan keberhasilan pembangunan itu haruslah manusia yang mempunyai kemampuan membangun. Kemampuan membangun hanya dapat dicapai melalui pendidikan[1]. Melalui kegiatan pendidikan formal dan non formal diharap
kan upaya untuk menciptakan dan mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang religius, penuh kesadaran, berkepribadian, cerdas, berperilaku serta memiliki kreativitas tinggi sehingga siap untuk mengisi pembangunan.
Sudah banyak kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti: wajib belajar 9 tahun, BOMM, BBE, BOS, BSM, Blogrant, kurikulum, rintisan sekolah bertaraf nasional/internasional, sekolah berstandar nasional/internasional, dan yang paling terakhir Pendidikan Menengah Iniversal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun. Seluruh kebijakan atau regulasi yang dilakukan pemerintah sebagai strategi untuk lebih menumbuh kembangkan sekolah menuju kearah peningkatan mutu.
Strategi bertumbuh (Aggressive Strategy) merupakan alat atau sarana yang penting bagi organisasi (sekolah) untuk lebih maju dan unggul melebihi organisasi lainnya secara terpadu serta terencana. Dalam perkembangan selanjutnya terutama dalam era globalisasi strategi bertumbuh merupakan instrumen yang ampuh dan tidak dapat dihindari penggunaannya, baik untuk survival maupun dalam memenangkan persaingan serta untuk tumbuh dan berkembang.
Makalah ini akan membicarakan strategi bertumbuh (Aggressive Strategy) terhadap pengembangan sekolah (school development). Diskursus pengembangan sekolah (school development) di Indonesia belum dilandasi dengan teori yang kuat. Masih belum berjalan sempurnanya desentralisasi pendidikan, MBS/MPMBS, life skill, school community, budaya sekolah. Makalah ini, akan menyajikan teori strategi bertumbuh (Aggressive Strategy) dalam disiplin manajemen strategi sebagai dasar pengembangan sekolah dalam upaya peningkatan mutu. Hal ini, penting mengingat kondisi nyata saat ini yang dihadapi bangsa salah satunya adalah masih rendahnya mutu dan pemerataan pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan.

1.2.    Rumusan Masalah

Permasalahan yang dirumuskan dalam tulisan ini dan diharapkan mampu menjawab permasalahan pengembangan sekolah, yang terurai pada “strategi bertumbuh (Aggressive Strategy) dalam pengembangan sekolah”. Dengan mengetahui strategi yang tepat dalam usaha pengembangan sekolah dalam era otonomi daerah, diharapkan warga sekolah mampu bersinergi dalam mengoptimalkan perannya dalam mengimplementasikan strategi.

1.3.    Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.    Mengidentifikasi strategi bertumbuh dalam pengembangan sekolah.
2.    Merumuskan strategi bertumbuh dalam pengembangan sekolah.




BAB II
KAJIAN TEORI


2.1.    Pengertian Strategi Bertumbuh (Aggressive Strategy)

Strategi dalam KBBI[2] bermakna ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu untuk mencapai sasaran khusus. Barney dan Hesterly[3] adalah theory about how to gain competitive advantage. Artinya strategi merupakan teori tentang bagaimana memperoleh keunggulan kompetitif/bersaing. Sedangkan Demsetz[4] menyatakan bahwa strategy is theory of how to achieve high levels of perfomance in the markets and industries within which it is operating. Artinya strategi adalah teori bagaimana mencapai kinerja tingkat tinggi di pasar dan industri di mana perusahaan tersebut beroperasi di dalamnya.
Johnson dan Scholes[5] menyatakan bahwa strategi adalah arah dan lingkup dari sebuah organisasi yang berlangsung jangka panjang. Sedangkan, Quinn[6] menyatakan bahwa strategi adalah pola atau perencanaan yang mengintegrasikan tujuan, kebijakan dan urutan tindakan utama organisasi menjadi satu kesatuan secara terpadu. Sementara itu, Poter[7] menyatakan bahwa strategi merupakan alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing. Secara sederhana Sukanto Reksohadiprodjo[8] mendefinisikan strategi sebagai pola tindak manajemen untuk mencapai tujuan badan usaha.
Suatu organisasi dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi ancaman dan merebut peluang yang ada. Formulasi strategi yang baik akan membantu pimpinan mengalokasikan sumber daya berdasarkan kompetensi dan kekurangan-kekurangan internal, mengantisipasi perubahan lingkungan, dan pergerakan yang tidak menentu dari lawan yang dilakukan secara terus menerus dan senantiasa meningkat (incremental). Jadi, strategi adalah rencana yang mengandung cara komprehensif dan integrative dengan mengintegrasikan segala sumber daya (resources) dan kemampuan (capabilities) yang dapat dijadikan pegangan untuk bekerja, berjuang dan berbuat guna memenangkan kompetisi.
Agresif[9] (Aggressive/offensive) memiliki makna 1) bersifat atau bernafsu menyerang, 2) cenderung (ingin) menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Agresif bersinonim dengan offensif yang bermakna bersifat maju dan menyerang dalam suatu kegiatan (ekonomi, politik, olahraga, dsb)
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa strategi bertumbuh (Aggressive Strategy) merupakan suatu pemikiran yang logis, analitis serta konseptualisasi hal-hal prioritas (dalam jangka panjang, pendek maupun mendesak), untuk dijadikan acuan dalam menetapkan langkah, tindakan, kiat, dan taktik yang harus dilakukan secara terpadu agar kegiatan terlaksana sesuai dengan tujuan, sasaran, dan hasil (output) yang harus dicapai berdasarkan kebijakan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Strategi bertumbuh (Aggressive Strategy) difokuskan untuk memecahkan seluruh rintangan yang dihadapi dengan strategi yang sudah dirumuskan. Sekolah diharapkan memiliki kemampuan menerjemahkan strategi bertumbuh (Aggressive Strategy) pada tataran operasional, dimulai dengan mengukur investasi, asset, dan komponen lain yang diperlukan dalam pelaksanaan/implementasi strategi dalam memberikan layanan belajar yang unggul dibanding dengan sekolah sejenis.

2.2.    Strategi Bertumbuh (Aggressive Strategy) Pengembangan Sekolah

Merujuk pada dunia industri terdapat pemimpin pasar dan urutan selanjutnya disebut penantang pasar (market Challenger). Penantang pasar merupakan perusahaan yang secara konstan mencoba memperbesar pangsa pasar mereka secara terbuka dan langsung[10]. Dikaitkan dengan dunia sekolah, maka sekolah unggulan merupakan pemimpin pasarnya sedangkan sekolah-sekolah lain merupakan penantang pasar.
Sekolah pemimpin pasar akan selalu berusaha agar kepemimpinannya tidak diraih oleh sekolah yang lain. Sementara sekolah-sekolah lainnya akan selalu berusaha dengan segenap daya upaya (strategi) untuk merebut posisi pemimpin pasar itu. Dalam konteks ini[11], pimpinan akan mengambil keputusan untuk melakukan ekspansi dengan mengambil kebijakan berupa meningkatkan program (intern), seperti:
1.  Pertumbuhan internal          :    meningkatkan penjualan, kapasitas produksi, dan tenaga kerja;
2.  Integrasi horizontal               :    mengakuisisi badan usaha lain yang bergerak pada usaha yang sama (meningkatkan pangsa pasar);
3.  Diversifikasi horizontal         :    mengakuisisi badan usaha lain yang masih bertalian;
4.  Diversifikasi vertikal              :    mengembangkan/ekspansi pada usaha lain;
5.  Integrasi vertikal bebas        :    merger badan usaha dari hulu hingga hilir;
6.  Integrasi vertikal berkaitan   :    mengembangkan usaha di bidang lain;
7.  Merger                                     :    menggabungkan dua atau lebih badan usaha menjadi satu;
8.  Aliansi                                     :    kerja sama dua atau lebih badan usaha dalam mengerjakan proyek.
Sementara itu, Michael E. Porter[12] menganjurkan dalam implementasi strategi bertumbuh dengan tiga pendekatan, yaitu:
1.  Keunggulan biaya menyeluruh:
Melalui seperangkat kebijakan fungsional yang ditujukan pada sasaran utama. Pengendalian biaya secara agresif, efisien, efektif, berkelanjutan. Tindakannya bukan hanya mengembangkan tetapi membuat lebih baik dan mudah serta memberikan harga yang murah.
2.  Diferensiasi:
Diferensiasi produk dan jasa yang ditawarkan dengan menciptakan sesuatu yang baru dan dirasakan secara menyeluruh sebagai hal yang unik.
3.  Fokus: Selalu berfokus pada segmen atau pelanggan.
Untuk mengimplementasikan kebijakan itu, pimpinan dapat melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan sekolahnya secara internal maupun eksternal. Analisis dapat dilakukan salah satunya dengan metode SWOT. Analisis SWOT merupakan sebuah metode untuk menguji strategi-strategi yang potensial yang dikembangkan atas dasar kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Melalui pengkombinasian masing-masing unsur dan data yang luas yang telah terkumpul sebagai hasil analisis dapat berfungsi sebagai pemicu diskusi dan perbaikan strategi yang selama ini telah digunakan atau mengembangkan strategi-strategi baru. Matrik SWOT dapat membantu pengembangan strategi dengan menggunakan alat SWOT Analysis ini.
Matrik SWOT pada dasarnya merupakan daftar dari kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman, serta kombinasi dari Strengths (S) dan Opportunities (O), Strengths (S) dan Threats (T), Weaknesses (W) dan Opportunities (O), Weaknesses (W) dan Threats (T). Berikut diagram SWOT:
PELUANG (O)
ANCAMAN (T)
KEKUATAN (S)
KELEMAHAN (W)
1.Mendukung Strategi Agresif
3. Mendukung Strategi Turn-around
2.Mendukung Strategi Diversifikasi
4. Mendukung Strategi Defensif
 
















Dengan memperhatikan diagram analisa SWOT di atas, pada kuadran I mendukung strategi bertumbuh (aggressive strategy). Pada Kuadran I ini, merupakan posisi yang sangat kuat, menguntungkan dan banyak peluang yang teridentifikasi (S-O). Sekolah dapat menggunakan strategi ini untuk memanfaatkan peluang berdasarkan kekuatan yang dimiliki secara maksimal. Sekolah juga seyogyanya menerapkan strategi ini dalam mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif
Berdasarkan hasil analisis sekolah dapat memperhitungkan dan memanfaatkan dengan baik setiap peluang di luar untuk peningkatan pengembangan atau mutu sekolah. Di saat bersamaan, juga dapat mengetahui dan memanfaatkan potensi internal. Dengan menganalisa faktor eksternal juga, mampu mengantisipasi tantangan dari setiap perubahan eksternal, bahkan mengubahnya (tantangan) menjadi peluang baru.
Saat ini, tinggalkan strategi lama yaitu strategi saling mengalahkan, karena hanya menguras banyak biaya, tenaga, dan pikiran. Strategi saling mengalahkan dikenal dengan istilah zero sum games. Strategi terbaik yang harus digunakan adalah memenangkan suatu pertempuran tanpa ada peperangan. Strategi ini dikenal dengan pola keluar dari persaingan Lautan Merah (Red Ocean), dan berpindah ke Lautan Biru (Blue Ocean). Jadi masing-masing pihak bukan berpikir dan berlaku saling mengalahkan, melainkan berusaha saling mendukung dengan keunggulan masing-masing untuk mencapai suatu target secara bersama-sama. Strategi kerjasama seperti itu lebih mampu mendatangkan sinergi positif dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Untuk itu, sekolah perlu upaya mendorong segenap warganya meningkatkan diversifikasi layanan pendidikan atau meningkatkan standar kualitas layanan di atas standar yang berlaku umum, standar nasional dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain di sekitarnya.

2.3.    Trend Strategi Bertumbuh (Aggressive Strategy) Pengembangan Sekolah

Trend pengembangan sekolah pada dekade sekarang harus segera dilakukan. Beberapa permasalahan yang menjadi faktor pengungkit menurut penulis sebagai berikut:
1.  Perubahan besar abad pada abad XXI, yaitu: 1) pertumbuhan ekonomi yang pesar; 2) pertumbuhan penduduk; 3) masalah lingkungan dan pemanasan global; 4) kemiskinan dan penyakit rakyat.[13]
2.  Ingin menjadi bangsa yang bermartabat, berkarakter, dan masyarakatnya memiliki nilai tambah (added value), dan nilai jual yang dapat ditawarkan kepada orang atau bangsa lain sehingga dapat bersaing, bersanding, berkompetisi dalam percaturan global.
3.  Hampir setiap hari, televisi secara bebas menayangkan (mempertontonkan) acara-acara yang tidak mendidik dan berkepribadian Indonesia. Perilaku kekerasan, sadisme, mutulasi, premanisme, kejahatan, perjudian, perkelahian (antar pelajar/kampung), geng motor, perselikungan, kawin siri, pelecehan seksual, penyalahgunaan obat-obat terlarang, korupsi, kolusi dan nepotisme. Betapa mirisnya melihat hal-hal tersebut, dan kelihatannya telah membudaya dalam sebagian masyarakat dan pejabat.
Hal-hal tersebut di atas, merupakan masalah yang dihadapi umat manusia dan yang akan menentukan nasib selanjutnya dari keberlangsungan hidup selanjutnya. Merujuk pada contoh-contoh di atas, hal tersebut tidak dapat dipungkiri merupakan potret kualitas pendidikan dan kualitas sumber daya manusia kita. Hal tersebut juga, sekaligus merupakan potret rapuh dan rendahnya pondasi moral dan spiritual bangsa ini pada titik nadir.
Kondisi dan kenyataan menyedihkan tersebut di atas, haruslah menjadi faktor pengungkit untuk melakukan pengembangan sekolah (mutu pendidikan) yang dilakukan secara simultan dan terus menerus oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini, karena pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam memajukan dan meningkatkan kualitas SDM di Indonesia. Peranan masyarakat sebagai pelaku utama pendidikan. Masyarakat harus memahami bahwa pendidikan bukan sekedar formalitas belaka namun harus mengerti dan memahami dengan benar bagaimana berinvestasi pada pendidikan. Hal ini, dilakukan jika kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat, berkarakter, dan masyarakatnya memiliki nilai tambah (added value), dan nilai jual yang dapat ditawarkan kepada orang atau bangsa lain sehingga dapat bersaing, bersanding, berkompetisi dalam percaturan global.
Dalam melakukan pengembangan sekolah, hendaknya yang yang menjadi tujuan akhir (output) menghasilkan insan yang bermutu, produktif, kreatif, inovatif, dan berkarakter. Hal ini, menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua di tengah iklim perpolitikan yang kurang kondusif (cenderung mengarah pada kebebasan yang kurang terkendali) sehingga banyak menimbulkan dampak negatif pada berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Kaitannya dengan dunia pendidikan dan merujuk pada manajemen strategi pada dunia bisnis dapat dimanfaatkan untuk memprediksi kecendrungan pasar dan peluang-peluang memperoleh keunggulan bersaing. Manajemen strategi berusaha untuk memformulasikan strategi berdasarkan pengkajian terhadap lingkungan eksternal dan internal, dengan mengidentifikasikan ATHG (peluang), mengimplementasikan strategi, serta menilai dan mengawasi pelaksanaan strategi berdasarkan nilai-nilai idiil, tujuan, serta budaya dan aturan yang mengikat[14].
Pendekatan yang sistematis bagi suatu tanggung jawab manajemen, mengkondisikan organisasi ke posisi yang dipastikan mencapai tujuan dengan cara yang akan menyakinkan keberhasilan yang berkelanjutan dan membuat perusahaan (sekolah) menjamin atau mengamankan yang mengejutkan[15]. Melalui manajemen strategis, pemimpin sekolah dapat mengaplikasikannya dalam penyusunan strategi program sekolah dengan memperhatikan kompetisi antar sekolah. Menurut Michael E. Porter, sifat dan tingkat kompetisi dalam suatu industri bergantung pada lima kekuatan, yaitu[16] :
a.  Persaingan antar perusahaan saingan;
b.  Potensi masuknya pesaing baru;
c.  Ancaman dari produk pengganti;
d.  Kekuatan tawar menawar pemasok;
e.  Kekuatan tawar menawar konsumen.


Produk
Pemasok
Pendatang
Potensial
Ancaman Pendatang  baru
Pesaing
Pertarungan
Antara perusahaan-
perusahaan yang ada
Daya Tawar
Pembeli
Ancaman produk Jasa Substitusi
Hubungan dari kekuatan serikat pekerja, pemberintah, dsb
Daya Tawar
Pemasok
Pembeli
 










Suatu keniscayaan melalui perencanaan pendidikan (pengembangan sekolah), komitmen dan memperhatikan tingkatan kompetisi yang ada dengan seksama, maka dihasilkan suatu lingkungan dan proses kegiatan belajar yang kondusif dan sehat sehingga siswa secara aktif dapat mengembangkan/ potensinya agar mendapatkan tingkat religius dan spiritual, kesadaran, kepribadian, kecerdasan, perilaku dan kreativitas untuk dirinya sendiri, sebagai warga negara dan untuk bangsa.



BAB III
PEMBAHASAN


3.1.    Implementasian Strategi Sertumbuh (Aggressive Strategy) Pengembangan Sekolah

Pengimplementasian strategi bertumbuh (aggressive strategy) untuk pengembangan sekolah merupakan penyesuaian pendidikan kepada tuntutan-tuntutan yang terus berkembang dalam rangka meningkatkan kecerdasan manusia Indonesia. Dalam kerangka ini pada pelaksanaannya harus mengacu pada kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kriteria minimal dimaksud sebagaimana yang diinginkan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP)[17] terdiri atas; Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, Standar Penilaian Pendidikan.
Kiranya di dalam mengimplementasian strategi bertumbuh (aggressive strategy) dapat mengintegrasikan dan menyesuaikan dengan tujuan dan fungsi SNP sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, Penjaminan mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Memperhatikan konsepsi-konsepsi tersebut di atas, para pendidik, para pengambil keputusan maupun para edukator dilapangan dapat menyikapinya. Perubahan itu harus bersifat sistemik, integratif, dan holistik. Oleh karena itu pula, sudah saatnya untuk dilakukan  reorientasi dan penataan menyeluruh terhadap pengembangan sekolah.
Paling tidak ada dua cara yang dapat dilakukan sekolah/madrasah untuk melakukan pengembangan sekolah/madrasah dengan melaksanakan dan memenuhi delapan unsur SNP sebagai indikator kinerja minimal ditambah dengan faktor X sebagai indikator kinerja tambahan. Indikator kinerja tambahan itu, yaitu: 1) adaptasi, adalah penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu sekolah yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu, ditandai lulusannya memiliki kompetensi; 2) adopsi, adalah penambahan atau pengayaan/pendalaman/penguatan/ perluasan dari unsur-unsur tertentu yang belum ada diantara delapan unsur SNP dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu sekolah.
Upaya pengimplementasian strategi bertumbuh (aggressive strategy) pengembangan sekolah itu dapat dilihat dari berbagai komponen dan karakteristik komponen, antara lain: budaya sekolah  (school culture), manajemen berbasis sekolah/madrasah, kecakapan hidup (life skill), efektif dan efisien pengelolaan, dan pengembangan mutu belajar aktif serta peran pemerintah. Oleh karena itu, sekolah harus selalu dapat memperbaharui diri dalam menghadapi berbagai perubahan yang sedang dan akan terjadi.
 

3.1.1.   Budaya Sekolah/Madrasah

Budaya sekolah (school culture) merupakan apa yang warga sekolah rasakan dan bagaimana persepsinya menciptakan suatu pola teladan, kepercayaan, nilai-nilai dan harapan[18]. Nilai-nilai yang berupa kesadaran, hasrat, efektif dari keinginan orang sehingga memandu perilakunya. Namun, dalam kurun waktu sejak orde reformasi digulirkan, dapat dilihat dan rasakan degradasi moral bangsa (budaya sekolah) ini menukik tajam. Ujian Nasional (UN) yang diberlakukan sejak tahun 2002, dalam implementasinya telah membawa wabah kecurangan, kebocoran, dan penyimpangan-penyimpangan secara sistemik dan sistematis. Penentuan kelulusan siswa hanya didasarkan pada mata pelajaran yang di UN kan, memaksa sekolah-sekolah dan siswa melakukan kecurangan berjamaah. Kondisi ini,  membawa dampak setiap sekolah pada musim UN mempersiapkan team sukses, melaksanakan les tambahan yang hanya membahas soal-soal. Hal yang paling membuat miris adalah melihat kenyataan pada siswa yang tidak lulus ada yang nekad mengakhiri hidupnya, guru dan siswa berurusan dengan polisi. 
Ilustrasi di atas, menggambarkan boleh jadi guru dan siswa telah kehilangan ruh dan nilai-nilai kejujuran dalam praktik pendidikan. Sekolah berubah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk mengembangkan kreativitas bagi siswa tetapi menjadi penjara. Untuk mengembalikan ruh dan nilai-nilai kejujuran dalam praktik pendidikan, diperlukan upaya bersama dalam mendisiplinkannya. Disiplin untuk mentaati, menerapkan, dan menjalankan aturan-aturan yang telah dibuat bersama.
Secara sederhana, dapat saja dimulai dari hal-hal kecil, seperti; ucapkan salam saat bertemu, ucapkan terima kasih kepada guru saat selesai pembelajaran, ucapkan maaf jika melakukan kesalahan, ucapkan tolong saat meminta bantuan, ucapkan selamat sebagai bentuk rasa hormat (respect), berjabat tangan, diharamkan mencontek, memalak, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut jika dilaksanakan secara disiplin dan konsisten serta memberian sanksi kepada yang melanggar, boleh jadi  akan menjadikan budaya pada sekolah.
Budaya sekolah (school culture) selama ini tidak menjadi perhatian yang serius dan sungguh-sungguh dari pengelola pendidikan. Budaya sekolah sangat perlu dibangun berdasarkan kekuatan karakteristik budaya lokal masyarakat tempat sekolah berada. Budaya sekolah merupakan denyut jantung sekolah yang perumusannya harus melibatkan seluruh warga sekolah (pendidik, tenaga kependidikan, siswa, dan komite sekolah) dengan dilandasi komitmen yang jelas dan terukur.
 Budaya sekolah (school culture) seharusnya dapat menghasilkan kepercayaan yang biasanya dipengaruhi oleh keberhasilan komitmen, kepemimpinan, kepedulian, dan menghormati yang juga dipenuhi dengan integritas dan konsistensi[19]. Budaya sekolah (school culture) akan mengikat soliditas warga sekolah karena diikuti dengan nilai yang dimiliki bersama (shared Values).
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa budaya sekolah merupakan upaya strategis sebagai pembentukan sikap dan perilaku kerja/belajar yang handal bagi seluruh warga sekolah yang didasarkan atas visi, misi, dan tata nilai, guna menghadapi tantangan di masa mendatang. Melalui budaya sekolah akan terjalin dan terinternalisasi perilaku warga sekolah sehingga akan berkomitmen pada tugasnya yang tercermin pada peningkatan kinerja/belajar seluruh warga sekolah dan mewujudkan tata kelola yang efektif dan efisien melalui perubahan sikap dan perilaku yang jujur, disiplin, profesional, kreatif, inovatif, berkarakter, bertanggung jawab, dan produktif. Boleh jadi, budaya sekolah ini akan menjadi pembeda dan unggulan antara sekolah.

3.1.2.   Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS/M)

Manajemen berbasis sekolah atau School Based Management[20] adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah dalam mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.
Makna dari MBS yaitu otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (pendidik, tenaga kependidikan, siswa, komite sekolah) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika seseorang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan merasa memiliki keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Dengan MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga memiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang berkepentingan dengan sekolah[21].
Melalui penerapan MBS akan nampak karakteristik lainnya dari profil sekolah mandiri, seperti: 1) pengelolaan sekolah akan lebih desentralistik; 2) perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar sekolah; 3) regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana; 4) peranan para pengawas bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dari mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko; 5) akan mengalami peningkatan manajemen; 6) dalam bekerja akan menggunakan team work; 7) pengelolaan informasi akan lebih mengarah kesemua kelompok kepentingan sekolah; 8) manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.
Kesimpulannya, melalui MBS akan tercipta pengelolaan sekolah secara profesional yang didukung oleh informasi, pengetahuan, ketrampilan, dan insentif yang berorientasi pada pencapaian mutu, efektivitas, efisiensi, dan kemandirian yang mengacu pada visi dan misi yang telah ditetapkan untuk mencapai target dan tujuan. MBS juga memberikan kebebasan (freedom of choice), sehingga dibutuhkan kecerdasan dan kemampuan menangkap fenomena untuk membuat program-program unggulan yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

3.1.3.   Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education)

Agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup yakni memiliki keberanian dari kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan yang wajar tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya diperlukan pendidikan yang menerapkan prinsip pendidikan berbasis luas (Broad Based Education) yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau keterampilan saja tetapi juga belajar teori dan mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupannya.
Pendidikan dengan berorientasi pada kecakapan hidup (Life Skill) bertujuan untuk mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi dan memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah dengan memberi peluang pemanfaatan sesuai dengan yang ada di masyarakat sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, kecakapan hidup dapat dipilih menjadi kecakapan mengenal diri (kemampuan personal) kecakapan berfikir rasional, kecakapan sosial kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Boleh jadi program kecakapan hidup ini akan menjadi unggulan dari antar sekolah.

3.1.4.  Pengelolaan Sekolah yang Efektif dan Efisien

Sekolah efektif ditunjukkan dengan kemampuan sekolah dalam menjalankan fungsinya secara maksimal, baik fungsi ekonomis, fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya maupun fungsi pendidikan.  Fungsi ekonomis sekolah adalah memberi bekal kepada siswa agar dapat melakukan aktivitas ekonomi sehingga dapat hidup sejahtera.  Fungsi sosial kemanusiaan sekolah adalah sebagai media bagi siswa untuk beradaptasi dengan kehidupan masyarakat.  Fungsi politis sekolah adalah sebagai wahana untuk memperoleh pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara.  Fungsi budaya adalah media untuk melakukan transmisi dan transformasi budaya.  Adapun fungsi pendidikan adalah sekolah sebagai wahana untuk proses pendewasaan dan pembentukkan kepribadian siswa.
Dalam upaya menuju sekolah mandiri dan unggul, haruslah berani menciptakan sekolah yang efektif. Sekolah yang efektif ditandai oleh: 1) visi dan misi yang jelas dan target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan secara lokal; 2)  Sekolah memiliki output yang selalu meningkat setiap tahun; 3) Lingkungan sekolah aman, tertib, dan menyenangkan bagi warga sekolah; 4) Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk berprestasi secara optimal; 5) Sekolah memiliki sistem evaluasi yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek akademik dan non akademik.
Sekolah dalam penyelenggaraannya haruslah efektif dan efisien. Efisiensi artinya pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas sehingga mencapai optimalisasi yang tinggi. Sekolah dikatakan efisien jika tercapai: 1)  penurunan DO dan mengulang kelas; 2) pemetaan mutu sekolah berdasarkan pada SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan Manajemen; 3)  Pengembangan sistem penilaian hasil belajar (penilaian kelas dan ujian akhir sekolah); 4) pengawasan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. 

3.2.    Peran Pemerintah dalam Strategi Bertumbuh Pengembangan Sekolah

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang dapat dijabarkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) termasuk revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda (otonomi daerah) yang juga dijabarkan dalam bentuk PP seperti PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, pengelolaan pendidikan masuk pada ranah desentralisasi.
Kebijakan desentralisasi pendidikan yang saat ini berlangsung membawa beberapa permasalahan, seperti:
1.    benturan regulasi;
2.    kekeliruan penetapan kebijakan;
3.    ketimpangan luasnya urusan dengan kebijakan fiskal;
4.    ketidak-konsistenan struktur dan fungsi pengelolaan pendidikan di daerah dan pusat;
5.    konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan dan dalam koordinasi antarunsur terkait secara vertikal dan horizontal;
6.    deprofesionalisasi dan politisasi pendidik di daerah;
7.    pengabaian kemampuan dan keunikan masing-masing daerah;
8.    pembiaran layanan pendidikan yang buruk;
9.    perluasan peluang penyimpangan atas berbagai ketentuan, seperti korupsi, pemalsuan  hasil  pendidikan, dan lain-lain.
Permasalahan tersebut jika tidak diatasi akan menghambat upaya pencerdasan dan pensejahteraan kehidupan bangsa melalui instrumentasi dan praksis sistem pendidikan. Tentu jika dibiarkan bukan hanya mengingkari konstitusi dari sistem pendidikan nasional tetapi juga akan menciptakan masa depan kehidupan masyarakat yang salah kelola.
Dengan desentralisasi pendidikan yang tepat sasaran akan memungkinkan terjadinya peningkatan SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi yang berguna dalam memenangi persaingan global (global competitiveness). Selain itu, melalui otonomi pendidikan diharapkan akan terjadi pemerataan mutu dan kualitas pendidikan di semua daerah dalam wilayah negara kesatuan republik Indonesia.
Untuk itu, diperlukan komitmen bersama semua komponen bangsa khusus instrumentasi pemerintahan (pemangku kepentingan) dalam mewujudkan pengelolaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional bermutu yang terdesentralisasi secara nyata dan bertanggung jawab. Untuk mencapai hal itu, semua pemangku kepentingan perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.        Menyelaraskan seluruh tata aturan dalam sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam konteks keberagaman kondisi dan potensi daerah dalam bingkai NKRI.
b.        Meningkatkan kesadaran, komitmen, dan tanggung jawab seluruh unsur pemerintahan dalam konteks pendidikan nasional di pusat dan daerah untuk menerima dan mewujudkan amanah konstitusional pendidikan nasionalsesuai dengan kedudukan, peran, dan tanggung jawabnya masing dan secara kolektif nasional.
c.         Menata ulang urusan pendidikan nasional secara desentralisasi nyata dan bertanggung jawab (melalui pendekatan asimetris) dengan menetapkan prinsip- prinsip ketersediaan layanan pendidikan prima (availability), keterjangkauan oleh semua lapisan masyarakat (accessability), keberterimaan secara konteks ruang dan waktu (acceptability), kesesuaian dengan konteks sosial dan kultural (adaptability), dan keterujiannya secara intelektual, personal, dan sosial (assessability).
d.        Mengantisipasi secara kritis dan prospektif serta menetapkan urusan­-urusan pendidikan yang strategis dan harus dikelola secara nasional seperti kebijakan nasional pendidikan, standar nasional pendidikan, kurikulum, pendidik, pola sistem penyelenggaraan urusan pendidikan nasional di daerah, hari libur nasional, supervisi dan pengawasan strategis, dan kebijakan khusus terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh/di daerah.
e.        Menyelaraskan struktur penyelenggaraan urusan pendidikan nasional di pusat dan di daerah dengan fungsi yang diemban sesuai dengan tugas dan tanggung jawab kelembagaan secara konstitusional dan sosial ­kultural yang didukung dengan sistem fiskal yang akuntable secara nasional.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran pemerintah dalam otonomi daerah dapat memperbesar kesempatan/peluang kepada setiap sekolah membuat kebijakan sekolah (school policy) masing-masing atas dasar konsep manajemen berbasis sekolah dan pendidikan berbasis masyarakat. Hal ini, boleh jadi akan memacu setiap sekolah untuk melakukan dan melaksanakan program-program terbaiknya.


[1]    M. Fakry Gaffar, Perencanaan Pendidikan: Teori dan Metodologi, Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, (Jakarta: PPLPTK, 1987) hal. 2
[2]    Kamus Besar Bahasa Indonesia
[3]     Barney, Jay B., dan William S. Hesterly. “Strategic Management and Competitive Advantage: Concept and Cases.” (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2008). Hal. 4
[4]    Ibid, Hal. 5
[5]    Robin John, dan Michael Allen. “Global Business Strategy.” London: Thomson, 2001. Hal. 176
[6]     Grant, Robert M. “Contemporary Strategy Analysis.” Malden MA: Blackwell Publishing, 2005. Hal. 21
[7]     Freddy Rangkuti. “Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis.” Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Hal. 3 - 4
[8]     Reksohadiprodjo, Sukanto. “Manajemen Strategi.” Yogyakarta: BPFE UGM, 2003. Hal. 1
[9]    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan http://id.wiktionary.org/wiki/agresif
[10]   Agustinus Sri Wahyudi, Manajemen Strategik: Pengantar Proses Berpikir Strategik, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996) Hal. 172
[11]    Sukanto Reksohadiprodjo, Manajemen Strategi, (Yogyakarta: BPFE UGM, 2003) Hal. 57 - 60
[12]    Michael E. Porter, “Strategi Bersaing (Competitive Strategy): Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing.” Alih bahasa: Sigit Suryanto. Tangerang: Karisma, 2007. Hal. 71 - 77
[13]    H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho. “Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Hal. 337
[14]    Sukanto Reksohadiprodjo. “Manajemen Strategi.” Yogyakarta: BPFE UGM, 2003. Hal. 6
[15]    Ansoff dalam Syaiful Sagala. “Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan: Pembuka Ruang Kreativitas, Inovasi dan Pemberdayaan Potensi Sekolah dalam Sistem Otonomi Sekolah .” Bandung: Alfabeta, 2011. Hal. 129
[16]   Michael E. Porter, “Strategi Bersaing (Competitive Strategy): Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing.” Alih bahasa: Sigit Suryanto. Tangerang: Karisma, 2007. Hal. 34, Lihat Juga, Fred R. David, 2009:146) Strategic Management
[17]   Lebih jelas penjabaran tentang SNP, lihat PP No. 19 Tahun 2005 dan PP No. 32 Tahun 2013)
[18]    Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi. “Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.” Jakarta: RajGrafindo Persada, 2012. Hal. 256 - 257
[19]    Sukanto Reksohadiprodjo. “Manajemen Strategi.” Yogyakarta: BPFE UGM, 2003. Hal. 78
[20]    Implementasi MBS seiring dengan pelaksanaan PP No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daera dengan prinsip desentralisasi pemerintahan dan PP. 25 Tahun 1999 tentang kewenangan pemerintah dan provinsi sebagai daerah otonom.
[21]   Umaedi. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Pengelolaan Sekolah Untuk Peningkatan Mutu. (Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah, Depdiknas, 1999).

No comments: