Translate

Saturday 27 April 2013

Kebijakan



KEBIJAKAN PERUBAHAN DAN PEMBAHARUAN KURIKULUM PENDIDIKAN 2013



BAB I
PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang

Keterlibatan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi sungguh sangat menentukan untuk keberhasilan pembangunan. Kemampuan membangun hanya dapat dicapai melalui pendidikan[1]. Pendidikan dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan non formal. Melalui upaya tersebut diharapkan dapat tumbuh kembang seluruh potensi sumber daya yang religius, penuh kesadaran, berkepribadian, cerdas, berkarakter, berperilaku serta memiliki kreativitas tinggi sehingga siap dan mampu serta proaktif untuk mengisi pembangunandan tantangan zaman yang selalu berubah.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi bangsa salah satunya adalah masih rendahnya mutu dan pemerataan pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Pada hal, untuk mengukur daya saing suatu bangsa dipengaruhi oleh tiga hal penting; pertama, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa; kedua, kemampuan manajemen suatu bangsa; ketiga, kemampuan sumber daya manusia.[2]
Bercermin dari keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan standar minimal pendidikan warganya melalui wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun[3], kemajuan IPTEK, globalisasi dan semangat otonomi daerah, pemerintah mengeluarkan kebijakan standar minimal pendidikan warganya hingga jenjang pendidikan menengah atas (12 tahun)[4]. Kebijakan pemerintah ini merupakan upaya nyata untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui kesempatan akses dan pemerataan pendidikan pada masyarakat. Hal ini juga sebagai usaha dalam mencapai pendidikan yang bermutu, beradab, dan yang dapat memanusiakan manusia perlu memperhatikan prinsip pendidikan sepanjang hayat (lifelong education)  dan memperhatikan empat pilar (sendi) pendidikan, yakni[5]: (1) learning to know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar dengan berbuat), (3) learning to be (belajar menjadi seseorang), dan (4) learning to live together with to live others (belajar hidup bersama) dalam pelaksanaannya.
Menurut Bambang Indriyanto[6], upaya peningkatan mutu pendidikan secara konvensional terdapat kecenderungan selalu dikaitkan dengan ketersediaan sarana dan prasana pendidikan yang memadai, serta kompetensi guru. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya betul. Ada komponen lain yang jarang disentuh yaitu kurikulum. Lebih lanjut menurutnya, kurikulum merupakan instrumen strategis bagi upaya peningkatan mutu pendidikan.
Kurikulum sebagai instrumen peningkatan mutu pendidikan terdiri dari tiga entitas yaitu tujuan, metode, dan isi. Peningkatan kompetensi guru dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan hanya akan memberikan makna bagi peserta didik jika diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum. Pada konteks Sistem Pendidikan Nasional rumusan tersebut dirumuskan pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL)[7]. Untuk menjamin agar SKL tersebut dapat dicapai maka kegiatan belajar mengajar tersebut dilengkapi dengan tujuh standar[8] lainnya yaitu standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian pendidikan.
 Kurikulum 2013 sebagai bagian dari intervensi peningkatan mutu pendidikan, tentu tidak bisa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan tujuh Standar Nasional Pendidikan (SNP). Sementara itu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tetap menjadi bagian Kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi. Satuan pendidikan tetap mempunyai kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sendiri yang sesuai dengan kondisi satuan pendidikan tersebut.
Dalam strategi perubahan dan pengembangan kurikulum diperlukan sebuah dataran konseptual yang bersifat praktis maupun teoritis sehingga perubahan dan pengembangan kurikulum dapat diaplikasikan dan diimplementasikan dengan baik di setiap satuan pendidikan.


1.2.    Fokus Kajian

Banyak hal dan fakta untuk dijadikan sebagai bahan komtemplasi (renungan) dalam dunia pendidikan Indonesia, diantaranya data penilaian Human Development Index (HDI) tahun 2011. Kualitas pendidikan yang punya korelasi dengan kualitas SDM punya urutan buruk. Kualitas SDM Indonesia menurut Human Development Index 2011 yang di release November 2011, ternyata Indonesia berada diurutan ke 124.
Merujuk pada hal tersebut di atas, pemerintah menyikapinya dengan melakukan perubahan dan pengembangan pada kurikulum 2013. Upaya ini, sebagai strategi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Walaupun sangat disadari, untuk meningkatkan kualitas pendidikan selain kurikulum terdapat sejumlah faktor diantaranya: lama siswa bersekolah; lama siswa tinggal di sekolah; pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi; buku pegangan atau buku babon; dan peranan guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan.
Perubahan dan pengembangan kurikulum merupakan suatu hal yang penting karena kurikulum bagian dari program pendidikan. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas pendidikan dan bukan semata-mata hanya menghasilkan suatu bahan pelajaran. Kurikulum tidak hanya memperhatikan perkembangan dan pembangunan masa sekarang tetapi juga mengarahkan perhatian ke masa depan. Tujuan pendidikan sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan perubahan. Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan itu. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun secara strategis dan dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus selalu relevan dengan perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan sebagainya.
Sudah barang tentu untuk keberhasilan dalam pelaksanaan kurikulum 2013 ini, diperlukan kesiapan seluruh komponen terkait terlebih pada tataran operasional pelaksananya. Untuk itu, perlu dirumuskan strategi implementasinya.

1.3.    Rumusan Masalah

Orientasi Kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35: kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.
Permasalahan yang dirumuskan dalam tulisan ini dan diharapkan mampu menjawab permasalahan manajemen kurikulum 2013 kaitannya dengan manajemen pendidikan, yang terurai pada Kebijakan Perubahan dan Pengembangan Kurikulum 2013. Dengan mengetahui berbagai permasalahan terjadi terkait dengan hal tersebut, diharapkan adanya sinergi dalam mengoptimalkan implementasi kurikulum 2013 pada tataran pelaksanaannya sehingga dapat berjalan dengan baik.

1.4.    Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.    Mengidentifikasi penyebab perubahan dan pengembangan pada kurikulum 2013.
2.    Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dan pengembangan pada kurikulum 2013.
3.    Merumuskan strategi implementasi kurikulum 2013..




BAB II
KAJIAN TEORI


2.1.    Isu Kritis Pendidikan Kini

Mencermati kebijakan pendidikan di Indonesia saat ini, akan dijumpai beberapa isu dan indikasi yang sangat tidak kondusif dan kritis untuk mewujudkan kemajuan pembangunan pendidikan. Secara kasat mata dapat terlihat pada kebijakan pendidikan dan program pendidikan dilaksanakan tanpa kajian teori dan empiris, pendidikan Indonesia masih penuh dengan berbagai gejala reaktif (hit and error) serta cekik dan peras (kick and rush). Hal itu disebabkan banyak kebijakan dan berbagai program dijalankan tanpa kajian teori dan empiris.
Merujuk pada fakta di atas memunculkan beberapa isu yang pantas dikritisi tentang kebijakan pendidikan saat ini sehingga menjadi polemik, yaitu:
a.  Anggaran Pendidikan yang sarat rekayasa, UUD 1945 Pasal 31 Ayat (4) dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa anggaran pendidikan harus mencapai 20 persen dari APBN/APBD. Namun hingga kini, anggaran pendidikan 20 persen yang disyaratkan konstitusi tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Pemerintah dan DPR telah merumuskan formulasi anggaran pendidikan 20 persen adalah murni anggaran pendidikan, tidak termasuk gaji pendidik dan biaya kedinasan. Namun, sejak dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-IV/2007 pada 20 Februari 2007, gaji pendidik dan biaya kedinasan dihitung sebagai bagian dari anggaran pendidikan.
Menurut Wikileaks, implementasi belanja pendidikan tetap tidak sesuai dengan amanat Undang-undang. Hal itu diperparah dengan kurang adanya transparansi dalam proses anggaran tersebut. Sebagai contoh; penyaluran dan penggunaan dana BOS yang sering terlambat dan berganti-ganti sistem. Petunjuk teknis penggunaan dana BOS mengacu kepada Permendikbud RI No. 51 tahun 2011 masih membuka peluang adanya penyalahgunaan bantuan, karena tidak adanya batas maksimal yang boleh dibiayai dari masing-masing item pembiayaan.
b.  Ujian Nasional, merupakan hal yang menakutkan bagi siswa, pengawasan yang dilakukan mulai dari pembuatan soal hingga pendistribusian ke sekolah-sekolah di kawal oleh polisi bersenjata lengkap. Fokus UN masih pada penilaian kognitif yang hanya 4 hari, melalaikan penilaian afektif dan psikomotorik, sekolah hanya diberi hak 40 persen nilai penentu kelulusan siswa dan pemerintah mengambil porsi 60 persen dalam penentuan kelulusan siswa. Padahal kalau mau jujur sekolah (guru-guru) yang paling tahu dengan siswanya. Padahal UN sudah dilarang oleh Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 377/PDT/2007/PT.DKI, yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri  Nomor 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Menanggapi keputusan ini kemendikbud masih berkilah dengan menyatakan bahwa dalam Putusan MA tersebut tidak ada larangan untuk menyelenggarakan UN. Artinya, tidak ada putusan yang menyatakan UN dihapuskan[9].
c.   Adanya komersialisasi pendidikan, mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan orang tua untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, walaupun tidak ada jaminannya. Hal ini menyebabkan terjadinya disparitas (perbedaan) yang sangat ekstrim antara pendidikan di kota dengan daerah pinggiran/desa. Kita patut bersyukur bahwa sekolah-sekolah berlabel RSBI dan SBI telah dikubur, sebab nuansa komersialisasi pendidikan sedikit menurun.
d.  Sertifikasi Guru dan Dosen menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan nasional, cenderung pendekatan formalitas dan tidak menyentuh substansi pendidikan, bahkan sarat dengan pungutan liar kalau mau lulus, tambahan pula UU tersebut berlaku surut. Ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Perundang-undangan tidak boleh berlaku surut.
e.  Penerimaan peserta didik baru pada setiap tahun ajaran baru, menuai masalah. Permendiknas melarang setiap rombongan belajar/jumlah murid perkelas tidak boleh lebih dari 32 murid.
f.    Akan dilaksanakannya program Pendidikan Menengah Universal (PMU) dan kurikulum 2013.

 

2.2.    Isu-Isu Perubahan dan Pembaharuan Kurikulum

Perubahan dan pembaharuan kurikulum merupakan keharusan dalam suatu sistem pendidikan agar pendidikan tetap relevan dengan tuntutan zaman. Sedemikian pentingnya perubahan dan pembaharuan kurikulum, sehingga ada adagium mengatakan bahwa suatu kurikulum disusun untuk diubah dan terus disempurnakan. Hanya dengan demikian, maka kurikulum akan selalu dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. Di Indonesia, dalam hampir 30 tahun terakhir telah dilakukan beberapa kali perubahan dan pembaharuan kurikulum sekolah, yaitu tahun 1975, 1984, 1994, 2004, dan terakhir tahun 2013 ditetapkannya kurikulum baru.
Dengan digunakannya kurikulum baru, maka guru, siswa, orang tua, beserta sarana pendidikan perlu menyesuaikan diri. Fasilitas pendidikan perlu diperbaharui atau ditambah, buku-buku teks harus diganti. Tidak jarang pula terjadi kejutan pada masyarakat. Itulah harga yang mesti dibayar untuk suatu perubahan yang berskala besar dan luas sebagairnana dilakukan melalui perubahan dan pembaharuan kurikulum. Harga yang harus dibayar dan dampak psikologis yang timbul tersebut bahkan lebih besar dan lebih dahsyat daripada keuntungan yang diperolehnya berupa perbaikan proses pendidikan di tingkat sekolah yang ditunjukkan oleh prestasi belajar peserta didik.
Perubahan pada tingkat sekolah lebih mengandalkan pada pengalarnan para guru dan praktisi pendidikan dalam menerapkan kurikulum. Dampak yang diharapkannya lebih bersifat inkremental dan gradual, tidak bersifat menyeluruh dan mendadak. Perubahan  di tingkat sekolah lebih berbasis sekolah dengan mengandalkan pada kreativitas para guru dalam menerapkan kurikulum. Dengan model perubahan ini, maka dimungkinkan ada pengalaman yang berbeda di antara para guru pada lokasi dan konteks sekolah yang berbeda-beda.
Dalam sejarah penerapan kurikulum pendidikan di Indonesia, model perubahan atau pembaharuan kurikulum yang terjadi lebih banyak bersifat komprehensif dan berskala luas daripada yang bersifat lokal atau inkremental. Pengalaman selama 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa Pemerintah dan sistem pendidikan secara keseluruhan amat mudah tergoda untuk mengubah dan memperbaharui kurikulum dalam skala luas (mengubah mata pelajaran dan struktur isinya), dengan kurang memperhitungkan apa akibat dan dampaknya bagi peserta didik, sekolah, dan masyarakat.
Perubahan dan pembaharuan kurikulum selama ini hampir dapat dipastikan berarti merestrukturisasikan kurikulum yang ada untuk diganti dengan yang baru, dengan perubahan yang sedemikian rupa sehingga struktur, topik-topik, ruang lingkup materi, dan bahkan metode pengajarannya ikut diubah. Perubahan yang sifatnya inkremental yang berbasis sekolah dan kreativitas guru hampir tidak dikenal atau kurang mendapatkan tempat dalam tiga fase pertama penjalanan kurikulum nasional. Hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan dan kurikulum yang seragam untuk seluruh Indonesia, yang kurang memberikan ruang gerak yang cukup bagi kreativitas lokal dan individual guru. Kalaupun daerah lokal diberikan keluasaan untuk menampilkan keunggulan daerahnya dan guru diberi kebebasan untuk mengembangkan kreativitasnya, dalam kenyataannya hal tersebut kurang berkembang akibat terlampau kuatnya pengaruh kurikulum nasional dan tekanan-tekanan lain yang menuntut adanya keseragaman.

2.3.    Trend Perubahan dan Pembaharuan Kurikulum Kini

Kurikulum sebagaimana sifatnya yang dinamis mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (paham perogresivisme). Kedinamisan kurikulum tersebut memberikan dampak terhadap maju dan tidaknya suatu pendidikan.
Perubahan dan pembaharuan kurikulum dimaksudkan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan, yang diakibatkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi yang serba cepat dan tidak lagi berjalan secara linear. Selain daripada itu perubahan dan pembaharuan kurikulum juga dipengaruhi oleh adanya keinginan untuk menyesuaikan bobot materi dengan perkembangan peserta didik, materi dengan idealisme, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan masyarakat (sosial), budaya, ekonomi, politik. Untuk itu, dalam perencanaan kurikulum harus meliputi beberapa aspek diantaranya tujuan, bahan, sumber, kegiatan belajar mengajar dan evaluasi sebagai dasar untuk menetapkan kurikulum.
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan terjadinya perubahan dan pengembangan pada kurikulum 2013, yaitu;
a.  tantangan masa depan diantaranya meliputi arus globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, dan ekonomi berbasis pengetahuan.
b.  kompetensi masa depan yang antaranya meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang efektif, dan kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda.
c.   fenomena sosial yang mengemuka seperti perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam berbagai jenis ujian, dan gejolak sosial (social unrest).
d.  persepsi publik yang menilai pendidikan selama ini terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa yang terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter.

2.4.    Menyongsong Penerapan Kurikulum 2013

Dalam penjelasan Pasal 34 ayat (5) RUU Sisdiknas (versi 21 Januari 2003), dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan menganut model KBK sebagaimana dikutip berikut ini: “Kerangka dasar kurikulum meliputi prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, visi dan misi jenjang pendidikan, kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, silabus, struktur persekolahan dan program, dan pendukung pelaksanaan kurikulum dan penilaian”. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagaimanakah prospek kurikulum 2013 apakah akan lebih mampu memberikan kepastian pada peningkatan kualitas pendidikan ? Meskipun kurikulum bukan satu-satunya penentu mutu pendidikan; harus di ingat bahwa setiap pembaruan kurikulum memang ditujukan untuk perbaikan kualitas, bukan ke arah kuantitas. Jadi, masuk akal bila perubahan kualitatif itulah yang kelak menjadi ukuran dalam menilai efektif-tidaknya Kurikulum 2013. Persoalan kualitas pendidikan selama ini dilihat dari kurikulum bukan terletak pada desain kurikulumnya, melainkan pada bagaimana kurikulum itu diimplementasikan secara sungguh-sungguh sehingga memberikan perubahan yang signifikan pada kualitas.
Benar bahwa pembaharuan kurikulum merupakan keharusan dalam suatu sistem pendidikan agar pendidikan tetap relevan dengan tuntutan zaman. Sedemikian pentingnya pembaharuan kurikulum, sehingga ada pemeo mengatakan bahwa suatu kurikulum disusun untuk diubah dan terus disempurnakan. Hanya dengan demikian, maka kurikulum akan selalu dinamis dan mengikuti perkernbangan zaman. Kita mengetahui bahwa sejak kemerdekaan, kita telah berkali-kali melakukan perubahan kurikulum, di antara yang paling menonjol adalah pada tahun 1968, 1975, 1984, dan 1994, 1998 (suplemen). Akan tetapi, hampir semua kurikulum itu menemui nasib yang sama, yaitu diperbaharui pada saat kurikulum itu belum dapat benar-benar diimplementasikan; sementara evaluasi hampir selalu sampai pada kesimpulan bahwa “biang kerok”-nya adalah kurikulum itu sendiri yang dianggap lemah, ketinggalan zaman. Apa yang pada periode sebelumnya diagung-agungkan tiba-tiba dihujat habis-habisan sebagai sumber masalah. Lebih menarik lagi, yang menyatakan kurikulum yang lalu keliru itu adalah para perancang kurikulum itu sendiri.
Untuk menyongsong pelaksanaan kurikulum 2013, sangat diperlukan penguatan kompetensi pribadi, profesional, sosial dan kultural para pendidik. Lebih spesifik ke 10 kompetensi yang dituntut dari pendidik, yaitu kompetensi dalam: (1) mengembangkan kepribadian sebagai guru, (2) menyusun program, (3) mengembangkan alat dan bahan pelajaran, (4) melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dengan memanfaatkan lingkungan, (5) berinteraksi dengan siswa, masyarakat dan kalangan pendidikan, (6) menerapkan metode, teknik dan alat yang sesuai, (7) menilai proses dan hasil belajar, (8) mengidentifikasi dan membantu kesulitan belajar siswa, (9) melaksanakan tugas-tugas administrasi, dan (10) melakukan penelitian sederhana untuk meningkatkan kualitas pendidikan/proses belajar-mengajar.

2.5.    Kebijakan Kurikulum 2013

 Pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam memajukan dan meningkatkan kualitas SDM di indonesia. Peranan masyarakat sebagai pelaku utama pendidikan. Kesadaran masyarakat bahwa pendidikan bukan sekedar formalitas belaka namun mengerti dan memahami dengan benar bagaimana berinvestasi pada pendidikan. Peranan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan pendidikan tidak akan maksimal tanpa partisipasi masyarakat didalamnya, mengingat adanya pemikiran yang berkembang dikalangan masyarakat untuk investasi didunia kerja (bekerja atau lainnya) daripada investasi pendidikan. Mungkin masih dapat diterima jika mengacu pada masyarakat yang kurang mampu.
Pendidikan sendiri telah didefinisikan sebagai sebuah upaya yang direncanakan untuk mendirikan suatu lingkungan belajar dan proses kegiatan pendidikan sehingga siswa secara aktif dapat mengembangkan/ potensi nya yang ada pada dirinya sendiri untuk mendapatkan tingkat religius dan spiritual, kesadaran, kepribadian, kecerdasan, perilaku dan kreativitas untuk dirinya sendiri, lainnya warga negara dan untuk bangsa. Konstitusi juga telah  mencatat kalau pendidikan di Indonesia secara garis besar telah dibagi menjadi dua bagian yaitu pendidikan formal dan non-formal. Selanjutnya pendidikan formal juga masih dibagi lagi menjadi tiga level yaitu, tingkat primer, sekunder dan pendidikan tinggi.

2.6.    Tantangan Pelaksanaan Kurikulum 2013

Ketersediaan guru, perluasan, kebijakan, dan kualitas dan relevansi. Di banyak negara berkembang, ketersediaan guru menjadi masalah utama dan sebagian besar belum memenuhi standar minimum profesi. Masalah lain adalah faktor kondisi pelayanan dan de-memotivasi yang terkait erat dengan isu-isu status guru, kebutuhan pelatihan, peran guru dalam reformasi dan renovasi pendidikan menengah, dan jenis pengetahuan, keterampilan serta keterlibatan kaum muda yang terintegrasi dalam proses pembangunan. Respon UNESCO untuk masalah di atas adalah inisiasi Pendidikan Pelatihan Guru yang dikelola oleh Divisi Pendidikan Tinggi, bertanggung jawab juga untuk Pendidikan Guru dan Pendidikan Teknis.
Selain masalah ketersediaan guru, tantangan lain berupa artikulasi kebijakan yang terbatas antara keterkaitan tingkat pendidikan dari pengembangan anak usia dini, dasar hingga menengah, lama belajar tersier dan kehidupan telah gagal membawa fungsi yang sangat penting dari pendidikan menengah dalam pencapaian EFA, MDGs dan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi berkelanjutan. Pemantauan pelaksanaan swap akan memastikan pembangunan yang sistemik lebih holistik pendidikan.
Selanjutnya adalah kualitas dan relevansi pendidikan yang mensyaratkan bahwa jenis pendidikan memiliki keterkaitan dengan pengalaman, kebutuhan ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari individu dan masyarakat. Relevansi dan kualitas pendidikan yang rendah merupakan isu politik yang berkembang. Di Amerika Serikat misalnya analis kebijakan mengandaikan bahwa "mengoreksi kegagalan pendidikan" terutama pada tingkat sekolah menengah adalah tugas yang paling penting yang dihadapi bangsa (Pendidikan Choice Amerika, "The Economist, 1 April 2000). Kurikulum pendidikan menengah harus mencerminkan hubungan dinamis antara kualitas pendidikan dan ekonomi produktif. Peringatan penting bertujuan untuk menghindari overloading kurikulum yang bisa dijadikan sebagai pendekatan analitis mengatasi masalah kekurangan guru.



BAB III
PEMBAHASAN


3.1.    Landasan Pengembangan Kurikulum 2013

Ada beberapa tumpuan atau landasan terhadap adanya pengembangan yang terus dilakukan pada kurikulum. Pengembangan tersebut dapat ditinjau dari beberapa aspek antara lain sebagai berikut:
a)  Aspek Filosofis
 Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan local, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana terarah, dan berkesinambungan. UU Sisdiknas kita pun telah menggariskan bahwa esensi pendidikan adalah  membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Berdasarkan filisofinya, seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan yang diharapkan antara lain berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Sementara itu, yang perlu diperhatikan juga adalah kurikulum. Kurikulum yang dimaksud harus berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa.
b)  Aspek Yuridis
      Secara konseptual, kurikulum adalah suatu respon pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Secara pedagogis, kurikulum adalah rancangan pendidikan yang memberi kesempatan untuk peserta didik mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang menyenangkan dan  sesuai dengan kemampuan dirinya  untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat dan bangsanya. Secara yuridis, kurikulum adalah suatu kebijakan publik yang didasarkan kepada dasar filosofis bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan.
      Landasan yuridis kurikulum adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
c)  Aspek Empiris
Pada saat ini perekonomian Indonesia terus tumbuh di tengah bayang-bayang resesi dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2005 sampai dengan 2008 berturut-turut 5,7%, 5,5%, 6,3%, 2008: 6,4%[10]
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN sebesar 6,5    6,9 %[11].  Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif, ulet, jujur, dan  mandiri, sangat diperlukan untuk  memantapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Generasi seperti ini seharusnya  tidak muncul karena hasil seleksi alam, namun karena hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan kurikulum sebagai pengarahnya. 
      Sebagai negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada.  Kurikulum harus mampu membentuk manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
      Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut  bersumber  dari kurikulum, namun beberapa ahli pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.
      Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan dengan beban belajar siswa, khususnya siswa sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah. Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya mata pelajaran yang ada di tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan kepada peningkatan 3 (tiga)  kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung serta pembentukan karakter.
      Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional/UN menunjukkan mendesaknya upaya menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam satuan pendidikan. Maka kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilai-nilai kejujuran pada peserta didik. Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih, adanya potensi rawan pangan pada berbagai belahan dunia, dan pemanasan global merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan ketahanan pangan. 
 Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus ditingkatkan. Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment), yaitu studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA, menunjukkan peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil  studi  TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan  siswa Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini menunjukkan perlu ada perubahan orientasi kurikulum  dengan tidak membebani peserta didik dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial yang  diperlukan semua warga negara untuk berperanserta dalam membangun negara pada masa mendatang
d)  Aspek Teoritis
Kurikulum dikembangkan atas dasar teori pendidikan berdasarkan standar dan teori pendidikan berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal hasil belajar yang berlaku untuk setiap kurikulum. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan tersebut adalah kualitas minimal lulusan suatu jenjang atau satuan pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.[12]
Standar Kompetensi Lulusan dikembangkan menjadi Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan yaitu SKL SD, SMP, SMA, SMK. Standar Kompetensi Lulusan satuan pendidikan berisikan 3 (tiga) komponen yaitu kemampuan proses, konten, dan ruang lingkup penerapan komponen proses dan konten. Komponen proses adalah kemampuan minimal untuk mengkaji dan memproses konten menjadi kompetensi. Komponen konten adalah dimensi kemampuan yang menjadi sosok manusia yang dihasilkan dari pendidikan. Komponen ruang lingkup adalah keluasan lingkungan minimal dimana kompetensi tersebut digunakan, dan menunjukkan gradasi antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan di atasnya serta jalur satuan pendidikan khusus (SMK, SDLB, SMPLB, SMALB).  
Kompetensi adalah kemampuan seseorang untuk bersikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat, dan lingkungan dimana yang bersangkutan berinteraksi.  Kurikulum dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mengembangkan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk membangun kemampuan tersebut. Hasil dari pengalaman belajar tersebut adalah hasil belajar peserta didik yang menggambarkan manusia dengan kualitas yang dinyatakan dalam SKL. 
 Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU nomor 20 tahun 2003; PP nomor 19 tahun 2005). Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang dirancang baik dalam bentuk dokumen, proses, maupun penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan pembelajaran yang didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan.
Konten pendidikan dalam SKL dikembangkan dalam bentuk kurikulum satuan pendidikan dan jenjang pendidikan sebagai suatu rencana tertulis (dokumen) dan kurikulum sebagai proses (implementasi). Dalam dimensi sebagai rencana tertulis, kurikulum harus mengembangkan SKL menjadi konten kurikulum yang berasal dari prestasi bangsa di masa lalu, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa mendatang. Dalam dimensi rencana tertulis, konten kurikulum tersebut dikemas dalam berbagai mata pelajaran sebagai unit organisasi konten terkecil. Dalam setiap mata pelajaran terdapat konten spesifik yaitu pengetahuan dan konten berbagi dengan mata pelajaran lain yaitu sikap dan keterampilan.  Secara langsung mata pelajaran menjadi sumber bahan ajar yang spesifik dan berbagi untuk dikembangkan dalam dimensi proses suatu kurikulum.  Kurikulum dalam dimensi proses adalah realisasi ide dan rancangan kurikulum menjadi suatu proses pembelajaran. Guru adalah tenaga kependidikan utama yang mengembangkan ide dan rancangan tersebut menjadi proses pembelajaran.
Pemahaman guru tentang kurikulum akan menentukan rancangan guru (Rencana Program Pembelajaran/RPP) dan diterjemahkan ke dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Peserta didik berhubungan langsung dengan apa yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran dan menjadi pengalaman langsung peserta didik. Apa yang dialami peserta didik akan menjadi hasil belajar pada dirinya dan menjadi hasil kurikulum. Oleh karena itu proses pembelajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi hasil belajar yang sama atau lebih tinggi dari yang dinyatakan dalam Standar Kompetensi Lulusan.

3.2.    Rasional Pengembangan Kurikulum 2013

Ada beberapa perbandingan yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam pengembngan kurikulum 2013 ini. Pertama, berdasarkan pengalaman dari kurikulum sebelumya yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang masih menyisakan sejumlah permasalahan antara lain:
1.  Konten kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak.
2.  Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
3.  Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
4.  Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum.
5.  Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
6.  Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru.
7.  Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala.
8.  Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.
Kedua, Selain permasalahan yang terdapat pada KTSP 2006, ada juga beberapa alasan seperti yang dikemukakan oleh Mendikbud mengapa kurikulum mengalami pengembangan. Alasan tersebut antara lain:
1.  Tantangan masa depan seperti: (a) Globalisasi, (b) Masalah lingkungan hidup, (c) Kemajuan teknologi informasi, (d) Konvergensi ilmu dan teknologi, (e) Ekonomi berbasis pengetahuan, (f) Kebangkitan industri kreatif dan budaya, (g) Pergeseran kekuatan ekonomi dunia, (h) Pengaruh dan imbas teknosains, dan (i) Mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan.
2.  Kompetensi masa depan antara lain: (a) Kemampuan berkomunikasi, (b) Kemampuan berpikir jernih dan kritis, (c) Kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, (d) Kemampuan menjadi warga negara yang efektif (e) Kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, (f) Kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal (g) Memiliki minat luas mengenai hidup, (h) Memiliki kesiapan untuk bekerja, (i) Memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya.
3.  Fenomena negatif yang mengemuka seperti: (a)  Perkelahian pelajar, (b) Narkoba, (c) Korupsi, (d) Plagiarisme, (e) Kecurangan dalam Ujian (Contek, Kepek) (f) Gejolak masyarakat (social unrest)
Persepsi masyarakat terhadap kurikulum sebelumnya antara lain: (a) terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, (b) beban siswa terlalu berat, (c) kurang bermuatan karakter.

3.3.    Elemen Perubahan  Kurikulum 2013

Secara umum ada empat elemen perubahan yang akan dikembangkan dalam kurikulum 2013 tersebut yaitu:
1.  Standar Kompetensi lulusan, dalam hal ini yang diharapkan pada peserta didik yaitu adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap (meliputi: pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia dan peradabannya), keterampilan (meliputi: pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret), dan pengetahuan (mampu menghasilkan pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya yang berwawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban).
2.  Standar isi, Kompetensi yang semula diturunkan dari matapelajaran berubah menjadi mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi. Kompetensi dikembangkan melalui:Tematik Integratif dalam semua mata pelajaran (pada tingkat SD), Mata pelajaran  (pada tingkat SMP dan SMA), Vokasinal (pada tingkat SMK).
3.  Standar proses pembelajaran
a.  Standar Proses yang semula terfokus pada Eksplorasi, Elaborasi, dan Konfirmasi dilengkapi dengan Mengamati, Menanya, Mengolah, Menyajikan, Menyimpulkan, dan Mencipta.
b.  Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat.
c.   Guru bukan satu-satunya sumber belajar.
d.  Sikap tidak diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan teladan
4.  Standar Penilaian
a.  Penilaian berbasis kompetensi.
b.  Pergeseran dari penilain melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil).
c.   Memperkuat PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal).
d.  Penilaian tidak hanya pada level KD, tetapi juga kompetensi inti dan SKL.
e.  Mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama penilaian.

3.4.    Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi Kurikulum 2013

Keberhasilaan pelaksanaan kurikulum 2013 tidak bisa dilaksanakan oleh satu pihak saja melainkan harus didukung oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah, pendidik, tenaga kependidikan, penerbit buku, dan peserta didik. Selain itu saling bantu membantu merupakan hal yang penting di antara pihak-pihak terkait agar kurikulum 2013 tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.
      Ada beberapa faktor yang bisa mendukung berhasilnya pelaksanaan kurikulum 2013 nanti antara lain:
1.  Kesesuaian kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan kurikulum yang diajarkan dan buku teks yang dipergunakan. Hal itu menjadi pusat perhatian dalam pengembangan kurikulum ini. Kemampuan guru harus bisa mengimbangi perubahan kurikulum dan menyesuaikan dengan buku teks yang akan diajarkan pada peserta didik. Jika kemampuan tenaga pendidik belum memadai maka segera diberikan pelatihan khusus misalnya: Uji Kompetensi, Penilaian Kinerja, dan Pembinaan Keprofesionalan Berkelanjutan sehingga dapat mendukung berhasilnya pelaksanaan kurikulum 2013 tersebut.
2.  Ketersediaan buku sebagai bahan ajar dan sumber belajar yang:
a.  Mengintegrasikan keempat standar pembentuk kurikulum.
b.  Sesuai dengan model interaksi pembelajaran.
c.   Sesuai dengan model pembelajaran berbasis pengalaman individu dan berbasis deduktif.
d.  Mendukung efektivitas sistem pendidikan.
3.  Penguatan peran pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan. Pemerintah harus benar-benar serius untuk mengimplementasikan kurikulum 2013 ini agar tidak terjadi kesenjangan kurikulum seperti yang telah terjadi sebelumnya. Sehingga pengawasan terhadap pelaksanaan kurikulum itu dapat dijalankan pada setiap jenjang pendidikan di seluruh Indonesia.
4.  Penguatan manajemen dan budaya sekolah. Sekolah juga memegang peranan yang sangat penting dalam menetukan keberhasilan pelaksanaan kurikulum 2013. Untuk itu, sekolah harus mampu menciptakan iklim belajar yang kondusif dan menyenangkan dengan berpedoman pada jalur pelaksanaan kurikulum. sehingga kurikulum 2013 tesebut dapat menjadi arah pengembangan yang betul-betul sesuai dengan apa yang diharapkan.

BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


3.1.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil review terhadap kebijakan perubahan dan pembaharuan kurikulum 2013 disimpulkan bahwa:
1.  Kurikulum sebagai instrumen peningkatan mutu pendidikan terdiri dari tiga entitas yaitu tujuan, metode, dan isi. Peningkatan kompetensi guru dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan hanya akan memberikan makna bagi peserta didik jika diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum.
2.  Kurikulum 2013 sebagai bagian dari intervensi peningkatan mutu pendidikan.
3.  Peningkatan kompetensi pendidik (guru) di tingkat satuan (sekolah) merupakan suatu halyang mutlak harus dilaksanakan..
4.  Diperlukan kesiapan seluruh komponen terkait terlebih pada tataran operasional pelaksananya untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan dan implementasi kebijakan perubahan dan pembaharuan kurikulum 2013.

3.2.    Rekomendasi

Berdasarkan hasil kajian yang dilaksanakan dapat direkomendasikan beberapa hal yaitu:
1.    Perlu sinergi antara pemerintah daerah dengan pusat dalam upaya sosialisasi dan pelaksanaan kurikulum 2013;
2.    Koordinasi dalam rangka mengurangi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas antara pemerintah daerah dan pusat;
3.    Pemerintah harus melakukan program penguatan kompetensi pendidik (guru) di tingkat satuan pendidikan (sekolah);
Pemerintah harus melakukan program peningkatan dan penguatan dalam rangka memenuhi delapan (8) standar nasional pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah).


[1]    M. Fakry Gaffar, Perencanaan Pendidikan: Teori dan Metodologi, Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, (Jakarta: PPLPTK, 1987) hal. 2
[2]    Anonymous, Madrasah Aliyah Kejuruan Arah dan Prospek Pengembangan, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam: 2004) hal. 1
[3]    Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 Pasal 2, tentang pencanangan wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yang terdiri dari program 6 (enam) tahun di sekolah dasar dan 3 (tiga) tahun di sekolah menengah pertama
[4]    Kebijakan pemerintah ini dikenal dengan program Pendidikan Menengah Universal (PMU). Kebijakan ini, berlaku secara nasional dimaksudkan: 1) lebih memperluas akses, kesempatan dan pemerataan pendidikan pada tingkat sekolah menengah atas; 2) meminimalisir angka putus sekolah, 3) memberikan kesempatan seluruh warga negara usia sekolah menikmati pendidikan.
[5]    Mastuhu, Menata ulang Pemikiran; Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003) Hal. 132 - 135
[6] Bambang Indriyanto, Kurikulum 2013: Instrumen Peningkatan Mutu Pendidikan, http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel-kurikulum-bambang-indriyanto  di unduh pada 04/22/2013
[7] Pada Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, SKL didefinisikan sebagai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
[8]     Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 2 memuat 7 (tujuh) Standar Nasional Pendidikan (SNP)
Saat tulisan ini berlangsung pendidikan tingkat SMP dan SMA telah menyelesaikan pelaksanaan UN, sementara 11 provinsi tertunda hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Mas media nasioanl dan internasional menyoroti tentang kekacauan pelaksanaan UN 2013.
[10] www.presidenri.go.id/index.php/indikator
[11] Agus D.W. Martowardojo, dalam Rapat Paripurna DPR, 31/05/2012
[12] PP nomor 19 tahun 2005

No comments: