Translate

Thursday 2 October 2014

IMPLEMENTASI KTSP




MANAJEMEN IMPLEMENTASI KTSP

1.1.    Latar Belakang
Penyelenggaraan pendidikan bermutu merupakan suatu keharusan untuk merespon tantangan dan tuntutan era globalisasi. Pusaran era globalisasi menyebabkan perkembangan dunia tanpa batas kearah pragmatis, perdagangan bebas (free market) dan jaringan wirausaha, revolusi teknologi komputer dan telekomunikasi, konsumerisme dan hedonisme, isu demokratissasi, transparansi, penegakan hukum dan hak asasi, isu kebebasan pers dan berfikir[1]. Pada sisi kehidupan politik terlihat kecenderungan fragmentasi. Untuk menghadapi era ini, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan wahana manusia untuk memperluas cakrawala pengetahuan dalam rangka menjadi manusia yang berkualitas. Melalui pendidikan kualitas suatu bangsa dapat ditentukan. Kegagalan pendidikan sudah barang tentu akan berimplikasi pada kegagalan suatu bangsa demikian pula sebaliknya keberhasilan pendidikan akan membawa keberhasilan suatu bangsa.
Pendidikan akan melahirkan lapisan masyarakat terdidik yang menjadi kekuatan untuk merekatkan unit-unit organisasi sosial dalam masyarakat. Pendidikan dapat dijadikan instrumen  untuk memupuk dan memperkuat kepribadian bangsa, jati diri bangsa, dan indentitas nasional. Dalam konteks ini, pendidikan dapat dijadikan sebagai wahana strategis dalam membangun kesadaran masyarakat untuk saling menghargai (tepo seliro) akan kebhinekaan yang untuk menjaga Negara Kesatuan Repbulik Indonesia (NKRI).
Penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh lembaga atau institusi atau organisasi harus mampu melahirkan lulusan-lulusan (SDM) bermutu, memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, memiliki skill, kemampuan kewirausahaan (entrepreneurships). Dalam kerangka ini, pendidikan juga memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan daya saing nasional dan pembangunan kemandirian bangsa. Hal ini juga sebagai langkah untuk memenangkan persaingan pada kehidupan di era globalisasi yang mempersyaratkan keunggulan dan ketangguhan sumber daya manusia sebagai modal pembangunan.

Namun kenyataannya, terlampau mudah untuk menangkap fenomena yang ada dalam masyarakat dalam menyoroti masalah pendidikan, baik lembaga-lembaganya, personel, kinerja maupun produknya. Fenomena ini menurut Sutrisno[2] merupakan suatu cerminan persepsi masyarakat yang menganggap lembaga-lembaga pendidikan kurang cepat bergerak, kurang profesional, dipertanyakan integritas personilnya serta produknya dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Padahal pelaksanaan pendidikan memiliki fungsi sebagai inisiasi, inovasi, dan konservasi. Inisiasi merupakan fungsi pendidikan untuk memulai perubahan. Inovasi merupakan fungsi pendidikan untuk mencapai perubahan. Konservasi merupakan fungsi pendidikan untuk menjaga nilai-nilai dasar[3].
Merujuk pada beberapa hal tersebut di atas, banyak hal dan fakta dapat dijadikan sebagai bahan komtemplasi (renungan), tentang dunia pendidikan Indonesia. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report yang dikeluarkan UNESCO[4], Indonesia pada tahun 2010 berada pada posisi ke 65 dan pada 2011 berada pada posisi ke 69 dari 127 negara di dunia. Dan menurut catatan Human Devolepment Report tahun 2010 versi UNDP[5], peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas sumber daya manusia Indonesia berada diurutan 108 dari 135 negara. Indonesia hanya unggul dari Vietnam (113), Myanmar (132), Timor Leste (120), Kamboja (124), Laos (122). Melihat kenyataan tersebut berarti ada yang yang harus dibenahi dalam sumber daya manusia Indonesia agar dapat mengambil peran ditengah bangsa-bangsa di dunia, di mulai dari penataan segala aspek dalam pendidikan.
Merujuk fakta tersebut di atas dan visi pendidikan nasional tahun 2025[6], yaitu; “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan: “Insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna)”. Yang dimaksud dengan insan Indonesia cerdas adalah insan yang cerdas secara komprehensif, yang meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Sudah seharusnya sumber daya manusia yang ada di dalam lembaga atau institusi memiliki posisi strategis dan sangat menentukan keberhasilan dan selalu mempersiapkan diri (berkomitmen) agar dapat selalu berkompetisi, siap menghadapi perubahan serta selalu meningkatkan kualitas sumber dayanya.
Fenomena lain juga menunjukan terjadinya degradasi moral, westernisasi, dan lunturnya rasa nasionalisme. Hal ini, tampak jelas terlihat dan dirasakan melalui sikap dan implementasi nilai-nilai luhur yang mengikat bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa makin memudar. Nilai-nilai luhur Pancasila tidak ada lagi dalam sikap hampir sebagian besar masyarakat Indonesia. Betapa setiap hari kita dipertontonkan melalui media nasional berita-berita kriminal, anarkisme, bentrok antar desa, sikap para anggota DPR, dan berita terakhir adalah kasus terbunuhnya siswa akibat tawuran pelajar.
Pada sisi lain, banyaknya sekolah-sekolah di Indonesia melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Billigual school, dengan penerapan bahasa asing dalam proses pembelajaran. Desakan orang tua agar diselenggarakan sekolah bertaraf internasional dan desakan siswa agar dapat ikut ujian sertifikasi internasional. Hal ini, berdampak pada sekolah-sekolah konvensional kekurangan siswa.
Merujuk pada beberapa paparan di atas, usaha memperbaiki sumber daya bangsa harus dimulai dari penataan pendidikan. Penataan pendidikan dimaksud adalah manajemen pendidikan. Sehingga tujuan akhir pendidikan untuk menciptakan out come pendidikan yang berkualitas sesuai dengan harapan. Manajemen yang baik dapat diciptakan dan dilaksanakan oleh manajer (pimpinan) yang berkualitas.
Untuk itulah dalam tulisan ini, selanjutnya akan mencoba menguraikan pemikiran-pemikiran tentang bagaimana peran manajemen pendidikan dalam perkembangan dunia dan dampaknya terhadap pendidikan, filosofi pendidikan ke depan, struktur pendidikan masa depan, tantangan manajemen pendidikan, kebijakan dan strategi manajemen pendidikan untuk kemajuan pengelolaan pendidikan.

1.2.    Fokus Kajian

1.3.    Rumusan Masalah
a.  Bagaimana perkembangan dunia dan dampaknya terhadap pendidikan ?
b.  Apa filosofi pendidikan masa depan ?
c.   Bagaimana struktur pendidikan masa depan ?
d.  Apa tantangan manajemen pendidikan ?
e.  Apa kebijakan dan strategi manajemen pendidikan ?

1.4.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
a.   Mendekripsikan perkembangan dunia dan dampaknya terhadap pendidikan;
b.   Mendekripsikan filosofi pendidikan masa depan;
c.   Mendekripsikan struktur pendidikan masa depan;
d.   Mendekripsikan tantangan manajemen pendidikan;
e.   Mendekripsikan kebijakan dan strategi manajemen pendidikan;
f.    Memberikan rekomendasi.

BAB II
KAJIAN TEORITIK, ANALISIS DESKRIPTIF DAN PEMBAHASAN

2.1.   Kajian Teoritik
Dewasa ini dunia pendidikan Indonesia berada dalam situasi kritis baik dilihat dari segi internal untuk mengisi pembangunan bangsa maupun segi eksternal dalam konteks kompetensi dan kompetisi antar bangsa-bangsa di dunia. Merujuk pada fakta dan visi pendidikan yang telah diungkapkan pada latar belakang di atas, jelas terlihat kualitas pendidikan Indonesia masih jauh ketinggalan dengan negara-negara lain.
Kekuatan (ekternal) pusaran arus besar yang mempengaruhi perkembangan dunia khususnya individu di Indonesia adalah masyarakat madani (civil society), negara-bangsa (nation-state), dan globalisasi[7]. Masyarakat madani diartikan bahwa hak-hak setiap warga negara di dalam persamaan dan perbedaannya diakui oleh masyarakat. Negara-bangsa diartikan sebagai kesepakatan warganya untuk mempertahankannya dalam keterikatan. Globalisasi diartikan dunia tanpa batas/mendunia.
Seiring dengan kekuatan arus globalisasi yang terjadi memberikan dampak pada perubahan-perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan sosial yang melanda dunia tersebut seperti: demokratisasi, globalisasi, identitas bangsa, dan masyarakat belajar (learning society[8]). Perubahan demokratisasi terjadi dimana-mana baik dalam bidang politik maupun hak asasi manusia. Perubahan bentuk negara dari yang totaliter menjadi negara demokrasi.
Kehidupan manusia semakin menyatu sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi sehingga mengubah cara hidup masyarakat. Ditengah arus globalisasi, muncul juga kesadaran kelompok, bangsa akan pentingnya identitas diri untuk membentengi diri. Kemajuan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan memberikan kesempatan yang luas kepada seluruh masyarakat untuk dapat mengakses. Hal ini, berdampak pula pada terbentuknya masyarakat belajar agar tidak tersingkirnya dalam kehidupan dunia yang berubah dengan cepat.
Disinilah urgensi lembaga-lembaga pendidikan untuk segera menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Lembaga-lembaga pendidikan harus mampu menyiapkan langkah-langkah yang terukur dan sistematis, serta berjuang mewujudkan mimpi untuk menjadikan negara yang melek dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dikarenakan pada masa mendatang yang dibutuhkan adalah tenaga kerja terdidik.
Pendidikan sejatinya merupakan suatu layanan jasa, oleh karenanya diperlukan upaya yang benar dan serius dalam pengelolaannya untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan terus menerus diperbaharui, dipertegas, dan dipertajam. Untuk menjemput impian tersebut, butuh sebuah proses yang sangat serius. Peran negara sangat dibutuhkan sebagai regulator dalam upaya menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan rakyat untuk mewujudkan pembangunan pendidikan.
Pada sisi internal kebijakan pemerintah sejak orde lama hingga saat ini belum progresif dalam memajukan pendidikan.  Pada masa orde baru sistem pendidikan sangat sentralistik, tidak demokratis dan di bawah otoritas kekuasaan. Orde reformasi membuka kran demokrasi dan melahirkan UU SISDIKNAS no. 20 Tahun 2003 dengan tujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhal mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Disinilah fungsi strategis manajemen pendidikan dalam merevitalisasi guna membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader masa depan yang memiliki kompetensi di era kompetisi terbuka (global) dan mengantisipasi segala tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif (jika diperlukan revolusioner) sehingga dapat menjadi bangsa yang dihormati dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Pada tataran ini peran manajemen pendidikan sangat signifikan dalam upaya menciptakan sekolah-sekolah berkualitas dan bermutu untuk menghasilkan sumber daya manusia yang handal, terampil, dan tangguh yang dibutuhkan masyarakat.
Tantangan dunia pendidikan Indonesia ditengah arus pusaran perubahan yang sangat dahsyat berdampak pada semakin kompleksnya tantangan yang dihadapi. Karenanya butuh solusi cerdas untuk menjawab setiap tantangan, seperti muncul model pendidikan seperti home schooling, virtual school, pembelajaran jarak jauh (distance learning), consumption aboard, movement of natural person, commercial presence.
Pada konteks ini, manajemen pendidikan berfungsi untuk mengelola pendidikan dengan tidak mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berubah. Perkembangan dan perubahan yang terus bergulir membawa manusia pada persaingan global. Untuk itu agar tidak kalah bersaing di kompetisi global, peningkatan kualitas sumber daya manusia sudah harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif, dan efisien.
Implikasi dari era globalisasi dan informasi yang berdampak pada perubahan paradigma manajemen pendidikan adalah berubahnya manajemen berbasis pusat menjadi berbasis daerah. Hal ini seiring dengan lahirnya UU Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, UU No 32 Tahun 2004 (pengganti UU No 22 Tahun 1999) tentang pemerintah daerah, UU No 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang dikuti dengan PP No 25 Tahun 2000 tentang pelimpahan kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom[9]. Konsekuensi logisnya manajemen pendidikan berubah menjadi manajemen berbasis sekolah/madrasah. Hal ini patut direspon sebagai salah satu peluang dalam menyajikan pendidikan yang berkualitas dan mengimplementasikan perubahan-perubahan tersebut kedalam kebijakan-kebijakan strategis di tingkat sekolah/madrasah secara efektif dan efisien. Karena sekolah/madrasah yang paling tahun apa menjadi kebutuhan stackholdernya.

2.2.   Filosofi Pendidikan Masa Depan
Ditengah-tengah arus pusaran globalisasi, pendidikan harus dikelola secara strategis. Ada baiknya untuk menjaga identitas diri sebagai bangsa yang berbhineka, Indonesia layak untuk menasionalisasikan pendidikan. Nasionalisasi pendidikan akan berdampak pada internalisasi nilai-nilai lokal dalam penyelenggaraan pendidikan dan dalam politik pendidikan. Penyelenggaraan/pengembangan pendidikan memerlukan dukungan filsafat, ilmu, dan manajemen yang kuat dan relevan dengan visi dan misi pendidikan.
Dalam rangka nasionalisasi pendidikan, ada baiknya untuk mendalami kembali tujuan, norma-norma, nilai-nilai kearifan lokal dan nilai-nilai tradisi yang berkembang dan hidup di dalam masyarakat (adat) Indonesia. Dapat juga merujuk pada filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, serta menghimpun nilai-nilai tradisi menjadi landasan religius dan keilmuan yang dapat difusikan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Melalui filosofi, bidang kesadaran akan menjadi lebih aktif, kritis dan cerdas. Untuk itu, penentu kebijakan pendidikan dan pemerintah harus segera menghasilkan filosofi pendidikan yang kokoh, sehingga dapat berlaku sepanjang masa. Hal ini untuk menghindari keterombang-ambing pendidikan nasional dalam percaturan dunia (arus globalisasi) dan berganti-gantinya kebijakan setiap terjadinya pergantian pejabat.
Dengan berlandaskan filosofi yang kokoh, diyakini jika diimplementasikan secara komprehensif pada penyelenggaraan pendidikan nasional akan berdampak pada munculnya potensi unggul yang tersembunyi dalam diri individu. Melalui kerja keras dan usaha sadar untuk memberdayakan semua potensi kemanusiaan yang mencakup potensi fisik, kognitif, afektif, dan intuitif secara optimal dan terintegrasi diharapkan tujuan pendidikan nasional tercapai.
Tidak ada salahnya filosofi pendidikan back to basic, kembali memfusikan serta mengadaptasi sesuai dengan kekinian filosofi Ki Hajar Dewantara yaitu “Ing ngarsosung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”[10]. Filosofi yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara bertujuan agar dalam proses pendidikan terimplementasikan penguasaan diri sebab pendidikan merupakan proses memanusiawikan manusia. Besar harapan ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa pengajaran dan pendidikan adalah dua hal yang berbeda, tetapi harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan) dengan memberikan berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan, dan meluaskan wawasan, sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan dan bermartabat) yang intinya membuat manusia sanggup mengangkat harkat dan martabatnya dalam kehidupan sosial bermasyarakat, bahkan dalam pergaulan internasional.
Sedangkan metode pendidikan yang dilakukan Ki Hajar Dewantara menitik beratkan pada pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh.
Dengan demikian, Tidak ada salahnya ke depan manajemen pendidikan mengadopsi konsep pengajaran Ki Hajar Dewantara yang sangat humanis. Konsep ini, mengingatkan kita betapa pentingnya peranan seorang pendidik, di mana harus mampu melakukan asih (mendidik dengan tulus), asah (selalu mengasah ilmu dan keterampilan anak didik), serta asuh (selalu memotivasi peserta didik untuk menjadi yang terbaik dan memegang teguh etika dan kebenaran).

2.3.   Struktur Pendidikan masa depan
Merujuk pada filosofi pendidikan tersebut di atas, kerangka/struktur  pendidikan masa depan harus dilakukan rekayasa ulang. Rekayasa ulang dapat dilakukan dan dimulai dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut[11]:
  1. Perumusan tujuan yang jelas (visi, misi, sasaran, dan target);
  2. Proses kerja secara sistemik, efektif dan efisien;
  3. Kepemimpinan yang efektif dan bertanggung jawab;
  4. Guru dan karyawan yang selalu bersemangat;
  5. Menciptakan jaringan baru antara sekolah dan para stackholder;
  6. Kejelasan koordinasi dan metode;
  7. Kesatuan perintah dan tanggung jawab.
  8. otonomi
Keterkaitan hal-hal di atas harus diperhatikan sehingga akan memudahkan pengawasan dalam mencapai tujuan pendidikan.
Perlu juga disadari bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan dan pendidikan merupakan miliki masyarakat. Oleh sebab itu setiap penentuan kebijakan harus melibatkan masyarakat sehingga relevansi pendidikan akan tercapai jika masyarakat terlibat didalam proses pelaksanaan visi, misi kebutuhan masyarakat pemilikinya[12].
Menyadari pusaran globalisasi yang telah mengurita, untuk menghadapinya dibutuhkan kecerdikan. Dengan memperhatikan rumusan rekayasa ulang struktur pendidikan di atas, maka di masa depan menurut penulis:
1.  Struktur pendidikan harus menekankan pada proses pembelajaran dari pada mengajar (berpusat pada siswa), memiliki struktur yang fleksibel, memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan berkesinambungan serta selalu disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.
2.  Menyelenggarakan pendidikan yang bersifat double tracks. Artinya, pendidikan yang menekankan pada pengembangan pengetahuan umum dan bersifat spesifik harus yang mengkombinasikan atau memadukan strukturnya antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan. Melalui double tracks ini diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
Upaya tersebut di atas, sudah barang tentu sangat mengharapkan keterlibatan masyarakat (stackholder) untuk kepentingan pembinaan, dukungan, dan partisipasi sehingga masyarakat sendiri tahu berbagai hal tentang pendidikan dan inovasi-inovasi yang dilakukan. Dengan demikian sekolah (manajemen) tahu juga apa yang menjadi keinginan masyarakat terhadap pendidikan.

2.4.   Tantangan Manajemen Pendidikan
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ke depan tantangan dunia pendidikan semakin kompleks. Tuntutan pengembangan kualitas SDM untuk menjadikan manusia Indonesia yang bermutu, memiliki kompetensi sesuai dengan era global yang berlandaskan budaya, kepribadian Pancasila dan UUD 1945 sudah menjadi keharusan.
Ditengah arus pusaran globalisasi dalam usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan, banyak fakta menunjukan seperti berbagai gedung sekolah, ambruk, rusak, sarana pendidikan terbatas, banyaknya lulusan yang menjadi pengangguran, diskriminasi sekolah unggulan dan pinggiran (Sekolah Bertaraf Internasional dan reguler). Selain itu, keputusan MK terkait UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang institusional karena bertentangan dengan UUD 1945, kontroversi Ujian Nasional (UN)[13] merupakan gambaran bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih berwujud mimpi.
Selain itu, kebijakan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD sesuai dengan amanat UU harusnya diorientasikan pada peningkatan kualitas pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pada kenyataannya masih ingklud dengan gaji guru, dana sertifikasi guru, dan pendidikan kedinasan. Anggaran 20% memang ideal dan diharapkan dapat membantu mengangkat rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan minimal wajib belajar sembilan tahun tidak kunjung terealisasi. Menurut Supriadi[14] kategori yang harus dikeluarkan untuk pendidikan ada dua, yaitu; biaya langsung (direct cost), merupakan seluruh biaya yang secara langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan. Biaya tidak langsung (indirect cost), merupakan biaya yang secara tidak langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan tetapi memungkinkan proses pendidikan.
Merujuk beberapa fakta empiris di atas, disinilah tugas manajemen dalam konteks pendidikan untuk dapat mengelola, membuat dan menerapkan konsep, strategi yang cerdas agar dapat diterapkan dalam pendidikan. Sudah barang tentu dalam praktek dan penerapannya menyesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Hal ini berarti dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan harus menerapkan paradigma manajemen pendidikan sebagai bagian dari konsep dan strategi pembangunan pendidikan nasional.
Pemikiran ini sesuai dengan pendapat Sukmadinata[15] yang menyatakan bahwa dalam untuk menerapkan manajemen pendidikan yang efektif dan efisien, mulai dari identifikasi, perencanaan, pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan harus disertai dengan pengelolaan faktor-faktor pendukung seluruh stackholder pendidikan.
2.5.   Kebijakan dan Strategi Manajemen Pendidikan
Kebijakan merupakan suatu proses pengambilan keputusan untuk menangani sejumlah permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan program dan kegiatan, penerapan strategi, dan implementasi visi dan misi suatu organisasi dalam waktu tertentu. Merujuk pada pengertian kebijakan tersebut dapat diartikan bahwa kebijakan merupakan alternatif pilihan tindakan untuk memecahkan suatu masalah. Tindakan yang dilakukan harus memenuhi azas ketepatan, kecepatan, dan keakuratan dalam suatu rentang waktu tertentu.
Dalam konteks pendidikan, kebijakan merupakan suatu rumusan dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional[16]. Selanjut Tilaar dan Nugroho[17] menyatakan pada era globalisasi dan neoliberalisme dalam membuat kebijakan pendidikan beberapa hal yang harus ada didalamnya, yaitu:
a.  merupakan suatu keseluruhan deliberalisasi mengenai hakekat manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam lingkungan kemanusiaan;
b.  dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai praksis yaitu kesatuan antara teori dan praktek pendidikan;
c.   harus memiliki validitas dalam perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan;
d.  berdasarkan azas keterbukaan;
e.  didukung oleh riset dan pengembangan;
f.    analisis kebijakan;
g.  ditujukan untuk kebutuhan peserta didik;
h.  diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis;
i.    berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam mencapai tujuan;
j.    berdasarkan efisiensi;
k.   berdasarkan kebutuhan peserta didik;
l.    bukan berdasarkan institusi atau kebijaksanaan irasional;
m. kejelasan tujuan
n.  diarahkan pada pemenuhan kebutuhan peserta didik.
Berdasarkan pemikiran di atas dan pasal 4, 5, dan 6 (ayat 1, 2, dan 3) PP No. 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan serta hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dapatlah dirumuskan kebijakan pendidikan dimasa depan sebagai berikut:
1.  Sistem pendidikan nasional seiring dengan semangat otonomi daerah, memberikan peluang kepada daerah untuk mengembangkan karakteristik, jati diri, dan potensinya dalam kerangka NKRI;
2.  Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan kesempatan kerja dengan tenaga berpendidikan SMA keatas yang cukup besar, maka perlu segera diimplementasikan wajib belajar 12 tahun;
3.  Dalam konteks pelaksanaan wajib belajar 12 tahun perlu dilaksanakan program pendidikan ketrampilan yang menekankan kemampuan peserta didik untuk menguasai pembelajaran sehingga dengan ketrampilan yang dibutuhkan pada lapangan pekerjaan;
4.  Memperkecil angka pengangguran (terbuka dan terdidik) dan putus sekolah;
5.  Kebijakan penggunaan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD hanya untuk upaya peningkatan mutu pendidikan. Artinya tidak termasuk gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta biaya pendidikan kedinasan;
6.  Pemenuhan dan pengimplementasian delapan standar pendidikan secara komprehensif. Dan terintegrasi.
Tentu saja hal-hal yang disebutkan di atas harus memiliki relevansi dengan:
1.  Peningkatan kualitas dan mutu pendidikan. Artinya hanya manusia yang berkualitas saja yang dapat bertahan hidup (survive) dan dapat berpartisipasi di masa depan yang sangat kompetitif;
2.  Peningkatan kesiapan peserta didik untuk menghadapi masa mendatang yang penuh teka-teki. Kosekuensi logisnya peserta didik harus banyak dilatih secara terus menerus untuk menghadapi perubahan-perubahan;
3.  Peningkatan kemandirian peserta didik melalui pengajaran. Artinya dalam menghadapi masa depan yang kompetitif dibutuhkan wahana pembelajaran yang kondusif sebagai upaya meningkatkan kemandirian;
4.  Peningkatan kemampuan peserta didik untuk membuat/menciptakan karya nyata. Artinya proses pendidikan yang diberikan adalah dalam upaya merangsang daya kreatifitas peserta didik;
5.  Peningkatan dan penanaman kedisiplinan, tanggung jawab dan kesetiakawanan yang tinggi kepada peserta didik. Artinya sebagai makhluk sosial peserta didik harus memiliki sikap dan jiwa kedisiplinan, bertanggung jawab dan kesetiakawanan terhadap apa yang dihasilkannya atau diperbuatnya;
6.  Peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya sebagai makhluk Tuhan peserta didik agar dapat mengendalikan diri agar tidak jatuh kedalam kubangan lumpur kehidupan sesat.
Merujuk pada beberapa hal tersebut di atas, menurut hemat penulis kebijakan manajemen pendidikan yang harus dilakukan adalah:
1.  Pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan. Artinya kebijakan pendidikan nasional memberikan kepercayaan pada semua jenjang lembaga pendidikan dengan otonomi yang luas. Hal ini dimaksudkan agar lembaga pendidikan tersebut mampu mengelola dirinya sendiri dan menghadapi setiap persoalan yang dihadapi secara bertanggung jawab;
2.  Melakukan desentralisasi pendidikan. Artinya Indonesia yang berbhineka sudah barang tentu memiliki keragaman. Untuk itu semangat ini diharapkan setiap lembaga pendidikan dapat mewujudkan setiap program dan melaksanakannya sesuai dengan kondisinya masing-masing. Dengan demikian diharapkan tingkat efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pendidikan dapat terlaksana;
3.  Akuntabilitas pendidikan. Artinya setiap lembaga pendidikan harus mampu menunjukan kinerjanya secara bertanggung jawab sebagaimana amanat yang diberikan kepada stackholdernya;
4.  Relevansi pendidikan. Artinya lembaga pendidikan harus menyiapkan peserta didik memiliki kompetensi, ketangguhan, dan kesiapan menghadapi tantangan globalisasi;
5.  Pemberdayaan masyarakat. Artinya harus merangkul dan melibatkan masyarakat sebagai salah satu stackholder pendidikan agar dapat berpastisipasi baik secara materi maupun subtantif. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat ikut juga memiliki tanggung jawab mengawal proses pendidikan.
Adapun strategi manajemen pendidikan yang dapat dilakukan, dengan melakukan:
1.  Demokratisasi pendidikan. Maksudnya dengan melakukan perluasan dan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak melalui pendirian lembaga pendidikan. Termasuk untuk mereka yang berkebutuhan khusus;
2.  Meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan disemua jenjang pendidikan. Maksudnya dengan melakukan pembaharuan kurikulum, profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan;
3.  Meningkatkan relevansi pendidikan. Maksudnya dengan melakukan pengembangan kecakapan dasar, proses pendidikan yang humanis, penataan program agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik serta membangun budaya masyarakat pembelajar;
4.  Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pendidikan. Maksudnya dengan mengimplementasikan MBS, otonomi dan akuntabilitas lembaga pendidikan.



BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Dampak perkembangan dunia dampaknya terhadap pendidikan dapat dilihat pada dua sisi, yaitu internal untuk mengisi pembangunan bangsa dan eksternal dalam konteks kompetensi dan kompetisi antar bangsa-bangsa si dunia. Untuk mengakomodasinya manajemen pendidikan harus mampu membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader masa depan yang memiliki kompetensi, handal, terampil, tangguh, dan berkualitas di era kompetisi terbuka (global) dan mengantisipasi segala tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif (jika diperlukan revolusioner) sehingga dapat menjadi bangsa yang dihormati dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Untuk merespon hal tersebut, manajemen pendidikan harus berubah menjadi manajemen berbasis sekolah/madrasah sebagai salah satu peluang dalam menyajikan pendidikan yang berkualitas dalam mengimplementasikan perubahan-perubahan tersebut kedalam kebijakan-kebijakan strategis di tingkat sekolah/madrasah secara efektif dan efisien. Karena sekolah/madrasah yang paling tahun apa menjadi kebutuhan stackholdernya.
2.    Filosofi pendidikan masa depan dapat memfusikan serta mengadaptasi sesuai dengan kekinian filosofi Ki Hajar Dewantara yaitu “Ing ngarsosung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”. Filosofi ini bertujuan agar dalam proses pendidikan terimplementasikan penguasaan diri sebab pendidikan merupakan proses memanusiawikan manusia. Artinya proses pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Penjabaran konsep filosofinya melalui sistem among yang berlandaskan rasa asih(mendidik dengan tulus), asah (selalu mengasah ilmu dan keterampilan anak didik), dan asuh(selalu memotivasi peserta didik untuk menjadi yang terbaik dan memegang teguh etika dan kebenaran).
3.    Struktur pendidikan masa depan harus menekankan pada proses pembelajaran dari pada mengajar (berpusat pada siswa) dan memiliki struktur yang fleksibel. Artinya dalam memperlakukan peserta didik haruslah sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan prosesnya dilakukan secara berkekelanjutan serta selalu menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat
4.    Tantangan manajemen pendidikan adalah bagaimana memformulasikan dalam mengelola, membuat dan menerapkan konsep, strategi yang cerdas agar dapat diterapkan dalam pendidikan yang pada praktek dan penerapannya disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
5.    Kebijakan manajemen pendidikan masa depan harus memenuhi azas ketepatan, keterbukaan, kecepatan, dan keakuratan dalam suatu rentang waktu tertentu. Untuk itu perlu dilakukan pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan, melakukan desentralisasi pendidikan, akuntabilitas pendidikan, relevansi pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat.
Adapun strategi manajemen pendidikan masa depan dilakukan dengan demokratisasi pendidikan, meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan disemua jenjang pendidikan, meningkatkan relevansi pendidikan, meningkatkan efisiensi dan efektifitas pendidikan.

3.2. Rekomendasi
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Untuk itu perlu dilakukan:
1.  Melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Artinya pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab serta mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
2.  Struktur pendidikan harus menekankan pada proses pembelajaran dari pada mengajar (berpusat pada siswa), memiliki struktur yang fleksibel, memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan berkesinambungan serta selalu disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.
3.  Menyelenggarakan pendidikan yang bersifat double tracks. Artinya, pendidikan yang menekankan pada pengembangan pengetahuan umum dan bersifat spesifik harus yang mengkombinasikan atau memadukan strukturnya antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan. Melalui double tracks ini diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
4.  Mewujudkan wajib belajar 12 tahun jika perlu hingga 17 tahun.


[1] Hurip Danu Ismadi, Handout mata kuliah Teori-teori Manajemen Pendidikan, Program Doktor Pascasarjana Unpak September 2012
[2] Sutrisno, Re-visit Visi Pendidikan Kita, Jambi Ekspres, Rabu, 4 Mei 2011, Hal. 5
[3] Jamal Ma’mur Asmani, Manajemen Pengelola Kepemimpinan Pendidikan Preofesional, (Yogyakarta: Diva Pres, 2009)
[6] Anonim, Renstra Depdiknas 2005 – 2009, (Jakarta: Depdiknas, 2005) Hal. 25 -26
[7] H.A.R.Tilaar, Standarisasi Pendidian Nasional: Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006) Hal. 140-143
[8] H.A.R.Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari perspektif Studi Kultural, (Magelang: Indonesiatera, 2003) Hal. 140-147-149
[9] E. Mulyasa, Menjadi KepalaSekolah Profesional: Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) Hal. 14
[10] Ni Luh Ike Pratiwi, Wajah Kusam Pendidikan Kita, Buku Seri Demokrasi ke 18, (Malang: Averroes Pres, 2011) Hal 58-60
[11] Soebagio Atmodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Ardadizya Jaya, 2000) Hal. 276-277
[12] H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012) Hal.469
[13] Keputusan Mahkamah Agung No. 2596.K/PDT/2008 tanggal 14 September 2009  melarang Depdiknas menyelenggarakan ujian Nasional (UN) menguatkan keputusan Pengadilan tinggi Jakarta atas gugatan penyelenggaraan UN tanggal 6 Januari 2007. Namun anehnya, pemerintah tetap memberlakukan UN dan mengabaikan keputusan MA. Banyak fakta empiris dilapangan yang menyatakan UN berdampak negatif terhadap kualitas proses dan hasil pembelajaran.
[14] Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) Hal. 6
[15] Onisimus Amtu, Manajemen Pendidikan di Era Otonommi Daerah: Konsep, Strategi, dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2011)Hal. 26
[16] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan , (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Hal. 7
[17] H.A.R. Tilaar dan R. Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

No comments: