MANAJEMEN IMPLEMENTASI KTSP
1.1. Latar Belakang
Penyelenggaraan pendidikan bermutu merupakan suatu keharusan untuk
merespon tantangan dan tuntutan era globalisasi. Pusaran era globalisasi
menyebabkan perkembangan dunia tanpa batas kearah pragmatis, perdagangan bebas (free
market) dan jaringan wirausaha, revolusi teknologi komputer dan telekomunikasi,
konsumerisme dan hedonisme, isu demokratissasi, transparansi, penegakan hukum
dan hak asasi, isu kebebasan pers dan berfikir[1].
Pada sisi kehidupan politik terlihat kecenderungan fragmentasi. Untuk
menghadapi era ini, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan wahana manusia untuk memperluas cakrawala
pengetahuan dalam rangka menjadi manusia yang berkualitas. Melalui pendidikan
kualitas suatu bangsa dapat ditentukan. Kegagalan pendidikan sudah barang tentu
akan berimplikasi pada kegagalan suatu bangsa demikian pula sebaliknya
keberhasilan pendidikan akan membawa keberhasilan suatu bangsa.
Pendidikan akan melahirkan lapisan masyarakat terdidik yang
menjadi kekuatan untuk merekatkan unit-unit organisasi sosial dalam masyarakat.
Pendidikan dapat dijadikan instrumen
untuk memupuk dan memperkuat kepribadian bangsa, jati diri bangsa, dan
indentitas nasional. Dalam konteks ini, pendidikan dapat dijadikan sebagai
wahana strategis dalam membangun kesadaran masyarakat untuk saling menghargai
(tepo seliro) akan kebhinekaan yang untuk menjaga Negara Kesatuan Repbulik
Indonesia (NKRI).
Penyelenggaraan
pendidikan yang dilakukan oleh lembaga atau institusi atau organisasi harus
mampu melahirkan lulusan-lulusan (SDM) bermutu, memiliki pengetahuan, menguasai
teknologi, memiliki skill, kemampuan kewirausahaan (entrepreneurships). Dalam kerangka ini, pendidikan juga memiliki
peran yang sangat strategis dalam meningkatkan daya saing nasional dan
pembangunan kemandirian bangsa. Hal ini juga sebagai langkah untuk memenangkan
persaingan pada kehidupan di era globalisasi yang mempersyaratkan keunggulan
dan ketangguhan sumber daya manusia sebagai modal pembangunan.
Namun
kenyataannya, terlampau mudah untuk menangkap fenomena yang ada dalam
masyarakat dalam menyoroti masalah pendidikan, baik lembaga-lembaganya,
personel, kinerja maupun produknya. Fenomena ini menurut Sutrisno[2]
merupakan suatu cerminan persepsi masyarakat yang menganggap lembaga-lembaga
pendidikan kurang cepat bergerak, kurang profesional, dipertanyakan integritas
personilnya serta produknya dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Padahal
pelaksanaan pendidikan memiliki fungsi sebagai inisiasi, inovasi, dan
konservasi. Inisiasi merupakan fungsi pendidikan untuk memulai perubahan.
Inovasi merupakan fungsi pendidikan untuk mencapai perubahan. Konservasi
merupakan fungsi pendidikan untuk menjaga nilai-nilai dasar[3].
Merujuk
pada beberapa hal tersebut di atas, banyak hal dan fakta dapat dijadikan
sebagai bahan komtemplasi (renungan), tentang dunia pendidikan
Indonesia. Berdasarkan data dalam Education
For All (EFA) Global Monitoring Report yang dikeluarkan UNESCO[4],
Indonesia pada tahun 2010 berada pada posisi ke 65 dan pada 2011 berada pada
posisi ke 69 dari 127 negara di dunia. Dan menurut catatan Human Devolepment
Report tahun 2010 versi UNDP[5],
peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas sumber daya
manusia Indonesia berada diurutan 108 dari 135 negara. Indonesia hanya unggul
dari Vietnam (113), Myanmar (132), Timor Leste (120), Kamboja (124), Laos
(122). Melihat kenyataan tersebut berarti ada yang yang harus dibenahi dalam
sumber daya manusia Indonesia agar dapat mengambil peran ditengah bangsa-bangsa
di dunia, di mulai dari penataan segala aspek dalam pendidikan.
Merujuk
fakta tersebut di atas dan visi pendidikan
nasional tahun 2025[6],
yaitu; “Terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan
semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas
sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Sejalan dengan Visi
Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat untuk pada tahun 2025
menghasilkan: “Insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Insan Kamil/Insan
Paripurna)”. Yang
dimaksud dengan insan Indonesia cerdas adalah insan yang cerdas secara
komprehensif, yang meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial,
cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Sudah seharusnya sumber daya manusia yang
ada di dalam lembaga atau institusi memiliki posisi strategis dan sangat
menentukan keberhasilan dan selalu mempersiapkan diri (berkomitmen) agar dapat
selalu berkompetisi, siap menghadapi perubahan serta selalu meningkatkan
kualitas sumber dayanya.
Fenomena lain juga menunjukan
terjadinya degradasi moral, westernisasi, dan lunturnya rasa nasionalisme. Hal
ini, tampak jelas terlihat dan dirasakan melalui sikap dan implementasi
nilai-nilai luhur yang mengikat bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa makin
memudar. Nilai-nilai luhur Pancasila tidak ada lagi dalam sikap hampir sebagian
besar masyarakat Indonesia. Betapa setiap hari kita dipertontonkan melalui
media nasional berita-berita kriminal, anarkisme, bentrok antar desa, sikap
para anggota DPR, dan berita terakhir adalah kasus terbunuhnya siswa akibat
tawuran pelajar.
Pada sisi lain, banyaknya sekolah-sekolah di Indonesia
melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Billigual school, dengan penerapan
bahasa asing dalam proses pembelajaran. Desakan orang tua agar diselenggarakan
sekolah bertaraf internasional dan desakan siswa agar dapat ikut ujian
sertifikasi internasional. Hal ini, berdampak pada sekolah-sekolah konvensional
kekurangan siswa.
Merujuk pada beberapa paparan di atas, usaha memperbaiki
sumber daya bangsa harus dimulai dari penataan pendidikan. Penataan pendidikan
dimaksud adalah manajemen pendidikan. Sehingga tujuan akhir pendidikan untuk
menciptakan out come pendidikan yang berkualitas sesuai dengan harapan.
Manajemen yang baik dapat diciptakan dan dilaksanakan oleh manajer (pimpinan)
yang berkualitas.
Untuk itulah
dalam tulisan ini, selanjutnya akan mencoba menguraikan pemikiran-pemikiran tentang bagaimana peran manajemen pendidikan dalam
perkembangan
dunia dan dampaknya terhadap pendidikan, filosofi pendidikan ke depan, struktur
pendidikan masa depan, tantangan manajemen pendidikan, kebijakan dan strategi
manajemen pendidikan untuk kemajuan pengelolaan pendidikan.
1.2. Fokus Kajian
1.3. Rumusan Masalah
a. Bagaimana perkembangan dunia dan
dampaknya terhadap pendidikan ?
b. Apa filosofi pendidikan masa depan
?
c. Bagaimana struktur pendidikan masa
depan ?
d. Apa tantangan manajemen pendidikan ?
e. Apa kebijakan dan strategi
manajemen pendidikan ?
1.4. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Mendekripsikan perkembangan dunia
dan dampaknya terhadap pendidikan;
b. Mendekripsikan filosofi pendidikan masa
depan;
c. Mendekripsikan struktur pendidikan masa
depan;
d. Mendekripsikan tantangan manajemen pendidikan;
e. Mendekripsikan kebijakan dan
strategi manajemen pendidikan;
f. Memberikan rekomendasi.
BAB II
KAJIAN TEORITIK, ANALISIS
DESKRIPTIF DAN PEMBAHASAN
2.1. Kajian Teoritik
Dewasa ini dunia pendidikan Indonesia berada dalam situasi
kritis baik dilihat dari segi internal untuk mengisi pembangunan bangsa maupun
segi eksternal dalam konteks kompetensi dan kompetisi antar bangsa-bangsa di
dunia. Merujuk pada fakta dan visi pendidikan yang telah diungkapkan pada latar
belakang di atas, jelas terlihat kualitas pendidikan Indonesia masih jauh
ketinggalan dengan negara-negara lain.
Kekuatan (ekternal) pusaran arus besar yang mempengaruhi perkembangan dunia
khususnya individu di Indonesia adalah masyarakat madani (civil society), negara-bangsa (nation-state),
dan globalisasi[7].
Masyarakat madani diartikan bahwa hak-hak setiap warga negara di dalam
persamaan dan perbedaannya diakui oleh masyarakat. Negara-bangsa diartikan
sebagai kesepakatan warganya untuk mempertahankannya dalam keterikatan.
Globalisasi diartikan dunia tanpa batas/mendunia.
Seiring dengan kekuatan arus globalisasi yang terjadi
memberikan dampak pada perubahan-perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Perubahan-perubahan sosial yang melanda dunia tersebut seperti: demokratisasi,
globalisasi, identitas bangsa, dan masyarakat belajar (learning society[8]).
Perubahan demokratisasi terjadi dimana-mana baik dalam bidang politik maupun
hak asasi manusia. Perubahan bentuk negara dari yang totaliter menjadi negara
demokrasi.
Kehidupan manusia semakin menyatu sebagai akibat dari
perkembangan teknologi informasi sehingga mengubah cara hidup masyarakat.
Ditengah arus globalisasi, muncul juga kesadaran kelompok, bangsa akan
pentingnya identitas diri untuk membentengi diri. Kemajuan teknologi informasi
dan ilmu pengetahuan memberikan kesempatan yang luas kepada seluruh masyarakat
untuk dapat mengakses. Hal ini, berdampak pula pada terbentuknya masyarakat
belajar agar tidak tersingkirnya dalam kehidupan dunia yang berubah dengan cepat.
Disinilah urgensi lembaga-lembaga pendidikan untuk segera
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Lembaga-lembaga
pendidikan harus mampu menyiapkan langkah-langkah yang terukur dan sistematis,
serta berjuang mewujudkan mimpi untuk menjadikan negara yang melek dan
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dikarenakan pada masa
mendatang yang dibutuhkan adalah tenaga kerja terdidik.
Pendidikan sejatinya merupakan suatu
layanan jasa, oleh karenanya diperlukan upaya yang benar dan serius dalam
pengelolaannya untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan terus menerus
diperbaharui, dipertegas, dan dipertajam. Untuk menjemput impian tersebut,
butuh sebuah proses yang sangat serius. Peran negara sangat dibutuhkan sebagai
regulator dalam upaya menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan rakyat untuk
mewujudkan pembangunan pendidikan.
Pada sisi internal kebijakan pemerintah sejak orde lama
hingga saat ini belum progresif dalam memajukan pendidikan. Pada masa orde baru sistem pendidikan sangat
sentralistik, tidak demokratis dan di bawah otoritas kekuasaan. Orde reformasi
membuka kran demokrasi dan melahirkan UU SISDIKNAS no. 20 Tahun 2003 dengan
tujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhal mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung
jawab.
Disinilah fungsi strategis manajemen pendidikan dalam
merevitalisasi guna membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader
masa depan yang memiliki kompetensi di era kompetisi terbuka (global) dan
mengantisipasi segala tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif
(jika diperlukan revolusioner) sehingga dapat menjadi bangsa yang dihormati dan
disegani oleh bangsa-bangsa lain. Pada tataran ini peran manajemen pendidikan
sangat signifikan dalam upaya menciptakan sekolah-sekolah berkualitas dan
bermutu untuk menghasilkan sumber daya manusia yang handal, terampil, dan
tangguh yang dibutuhkan masyarakat.
Tantangan dunia pendidikan Indonesia ditengah arus pusaran
perubahan yang sangat dahsyat berdampak pada semakin kompleksnya tantangan yang
dihadapi. Karenanya butuh solusi cerdas untuk menjawab setiap tantangan,
seperti muncul model pendidikan seperti home schooling, virtual school,
pembelajaran jarak jauh (distance learning), consumption aboard, movement of
natural person, commercial presence.
Pada konteks ini, manajemen pendidikan berfungsi untuk
mengelola pendidikan dengan tidak mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terus berubah. Perkembangan dan perubahan yang terus bergulir
membawa manusia pada persaingan global. Untuk itu agar tidak kalah bersaing di
kompetisi global, peningkatan kualitas sumber daya manusia sudah harus dilakukan
secara terencana, terarah, intensif, efektif, dan efisien.
Implikasi dari era globalisasi dan informasi yang berdampak
pada perubahan paradigma manajemen pendidikan adalah berubahnya manajemen
berbasis pusat menjadi berbasis daerah. Hal ini seiring dengan lahirnya UU
Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, UU No 32 Tahun 2004 (pengganti UU No 22 Tahun
1999) tentang pemerintah daerah, UU No 25 Tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah yang dikuti dengan PP No 25 Tahun 2000 tentang
pelimpahan kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan provinsi sebagai daerah
otonom[9].
Konsekuensi logisnya manajemen pendidikan berubah menjadi manajemen berbasis
sekolah/madrasah. Hal ini patut direspon sebagai salah satu peluang dalam
menyajikan pendidikan yang berkualitas dan mengimplementasikan
perubahan-perubahan tersebut kedalam kebijakan-kebijakan strategis di tingkat
sekolah/madrasah secara efektif dan efisien. Karena sekolah/madrasah yang
paling tahun apa menjadi kebutuhan stackholdernya.
2.2. Filosofi Pendidikan
Masa Depan
Ditengah-tengah arus pusaran globalisasi, pendidikan harus
dikelola secara strategis. Ada baiknya untuk menjaga identitas diri sebagai
bangsa yang berbhineka, Indonesia layak untuk menasionalisasikan pendidikan.
Nasionalisasi pendidikan akan berdampak pada internalisasi nilai-nilai lokal
dalam penyelenggaraan pendidikan dan dalam politik pendidikan.
Penyelenggaraan/pengembangan pendidikan memerlukan dukungan filsafat, ilmu, dan
manajemen yang kuat dan relevan dengan visi dan misi pendidikan.
Dalam rangka nasionalisasi pendidikan, ada baiknya untuk
mendalami kembali tujuan, norma-norma, nilai-nilai kearifan lokal dan
nilai-nilai tradisi yang berkembang dan hidup di dalam masyarakat (adat)
Indonesia. Dapat juga merujuk pada filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara,
serta menghimpun nilai-nilai tradisi menjadi landasan religius dan keilmuan
yang dapat difusikan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Melalui filosofi, bidang kesadaran akan menjadi lebih aktif,
kritis dan cerdas. Untuk itu, penentu kebijakan pendidikan dan pemerintah harus
segera menghasilkan filosofi pendidikan yang kokoh, sehingga dapat berlaku
sepanjang masa. Hal ini untuk menghindari keterombang-ambing pendidikan
nasional dalam percaturan dunia (arus globalisasi) dan berganti-gantinya
kebijakan setiap terjadinya pergantian pejabat.
Dengan berlandaskan filosofi yang kokoh, diyakini jika
diimplementasikan secara komprehensif pada penyelenggaraan pendidikan nasional
akan berdampak pada munculnya potensi unggul
yang tersembunyi dalam diri
individu. Melalui kerja keras dan usaha sadar untuk memberdayakan semua potensi
kemanusiaan yang mencakup potensi fisik, kognitif, afektif, dan intuitif secara
optimal dan terintegrasi diharapkan tujuan pendidikan nasional tercapai.
Tidak ada salahnya filosofi pendidikan back to basic, kembali memfusikan serta mengadaptasi sesuai dengan
kekinian filosofi Ki Hajar Dewantara yaitu “Ing ngarsosung tulodo, Ing madyo
mangun karso, Tut wuri handayani”[10].
Filosofi yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara bertujuan agar
dalam proses pendidikan terimplementasikan penguasaan diri sebab pendidikan merupakan
proses memanusiawikan manusia. Besar harapan ketika setiap peserta didik mampu
menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian
akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara
mengungkapkan bahwa pengajaran dan pendidikan adalah dua hal yang berbeda,
tetapi harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan
manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan) dengan memberikan
berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan, dan meluaskan wawasan, sedangkan
pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir
dan mengambil keputusan dan bermartabat) yang intinya membuat manusia sanggup
mengangkat harkat dan martabatnya dalam kehidupan sosial bermasyarakat, bahkan
dalam pergaulan internasional.
Sedangkan metode pendidikan yang
dilakukan Ki Hajar Dewantara menitik beratkan pada pendidikan yang menghasilkan
peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas,
menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan
dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem
pendidikan ini adalah sistem among yaitu yang berdasarkan pada asih, asah dan
asuh.
Dengan demikian, Tidak ada salahnya
ke depan manajemen pendidikan mengadopsi konsep pengajaran Ki Hajar Dewantara yang
sangat humanis. Konsep ini, mengingatkan kita betapa pentingnya peranan seorang
pendidik, di mana harus mampu melakukan asih (mendidik dengan tulus), asah
(selalu mengasah ilmu dan keterampilan anak didik), serta asuh (selalu
memotivasi peserta didik untuk menjadi yang terbaik dan memegang teguh etika
dan kebenaran).
2.3. Struktur Pendidikan masa depan
Merujuk pada filosofi
pendidikan tersebut di atas, kerangka/struktur pendidikan masa depan
harus dilakukan rekayasa ulang. Rekayasa ulang dapat dilakukan dan dimulai
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut[11]:
- Perumusan tujuan yang jelas (visi, misi, sasaran, dan target);
- Proses kerja secara sistemik, efektif dan efisien;
- Kepemimpinan yang efektif dan bertanggung jawab;
- Guru dan karyawan yang selalu bersemangat;
- Menciptakan jaringan baru antara sekolah dan para stackholder;
- Kejelasan koordinasi dan metode;
- Kesatuan perintah dan tanggung jawab.
- otonomi
Keterkaitan hal-hal
di atas harus diperhatikan sehingga akan memudahkan pengawasan dalam mencapai
tujuan pendidikan.
Perlu juga disadari
bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan dan pendidikan merupakan miliki
masyarakat. Oleh sebab itu setiap penentuan kebijakan harus melibatkan
masyarakat sehingga relevansi pendidikan akan tercapai jika masyarakat terlibat
didalam proses pelaksanaan visi, misi kebutuhan masyarakat pemilikinya[12].
Menyadari pusaran globalisasi yang telah
mengurita, untuk menghadapinya dibutuhkan kecerdikan. Dengan memperhatikan
rumusan rekayasa ulang struktur pendidikan di atas, maka di masa depan menurut
penulis:
1. Struktur
pendidikan
harus menekankan pada proses pembelajaran dari pada mengajar (berpusat pada
siswa), memiliki struktur yang fleksibel, memperlakukan peserta didik
sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan
berkesinambungan serta selalu disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika
masyarakat.
2. Menyelenggarakan
pendidikan yang bersifat double tracks. Artinya, pendidikan yang
menekankan pada pengembangan pengetahuan umum dan bersifat spesifik harus yang
mengkombinasikan atau memadukan strukturnya antara tempat kerja, pelatihan dan
pendidikan formal sistem persekolahan. Melalui double tracks ini diharapkan
akan menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi
untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan
cepat.
Upaya tersebut di atas, sudah barang tentu sangat
mengharapkan keterlibatan masyarakat (stackholder)
untuk kepentingan pembinaan, dukungan, dan partisipasi sehingga masyarakat
sendiri tahu berbagai hal tentang pendidikan dan inovasi-inovasi yang
dilakukan. Dengan demikian sekolah (manajemen) tahu juga apa yang menjadi
keinginan masyarakat terhadap pendidikan.
2.4. Tantangan Manajemen Pendidikan
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
ke depan tantangan dunia pendidikan semakin kompleks. Tuntutan pengembangan kualitas
SDM untuk menjadikan manusia Indonesia yang bermutu, memiliki kompetensi sesuai
dengan era global yang berlandaskan budaya, kepribadian Pancasila dan UUD 1945
sudah menjadi keharusan.
Ditengah arus pusaran globalisasi dalam usaha untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, banyak fakta menunjukan seperti berbagai
gedung sekolah, ambruk, rusak, sarana pendidikan terbatas, banyaknya lulusan
yang menjadi pengangguran, diskriminasi sekolah unggulan dan pinggiran (Sekolah
Bertaraf Internasional dan reguler). Selain itu, keputusan MK terkait UU No 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang institusional karena
bertentangan dengan UUD 1945, kontroversi Ujian Nasional (UN)[13]
merupakan gambaran bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih berwujud mimpi.
Selain itu, kebijakan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan
APBD sesuai dengan amanat UU harusnya diorientasikan pada peningkatan kualitas
pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pada kenyataannya masih ingklud
dengan gaji guru, dana sertifikasi guru, dan pendidikan kedinasan. Anggaran 20%
memang ideal dan diharapkan dapat membantu mengangkat rakyat miskin untuk
mengenyam pendidikan minimal wajib belajar sembilan tahun tidak kunjung
terealisasi. Menurut Supriadi[14]
kategori yang harus dikeluarkan untuk pendidikan ada dua, yaitu; biaya langsung
(direct cost), merupakan seluruh
biaya yang secara langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan. Biaya tidak
langsung (indirect cost), merupakan
biaya yang secara tidak langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan tetapi
memungkinkan proses pendidikan.
Merujuk beberapa fakta empiris di atas, disinilah tugas
manajemen dalam konteks pendidikan untuk dapat mengelola, membuat dan
menerapkan konsep, strategi yang cerdas agar dapat diterapkan dalam pendidikan.
Sudah barang tentu dalam praktek dan penerapannya menyesuaikan dengan tuntutan
dan perkembangan zaman. Hal ini berarti dalam pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan harus menerapkan paradigma manajemen pendidikan sebagai bagian dari
konsep dan strategi pembangunan pendidikan nasional.
Pemikiran ini sesuai dengan pendapat Sukmadinata[15]
yang menyatakan bahwa dalam untuk menerapkan manajemen pendidikan yang efektif
dan efisien, mulai dari identifikasi, perencanaan, pemeliharaan, pembinaan dan
pengembangan harus disertai dengan pengelolaan faktor-faktor pendukung seluruh
stackholder pendidikan.
2.5. Kebijakan dan Strategi Manajemen Pendidikan
Kebijakan merupakan suatu proses pengambilan keputusan untuk
menangani sejumlah permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan program dan
kegiatan, penerapan strategi, dan implementasi visi dan misi suatu organisasi
dalam waktu tertentu. Merujuk pada pengertian kebijakan tersebut dapat
diartikan bahwa kebijakan merupakan alternatif pilihan tindakan untuk
memecahkan suatu masalah. Tindakan yang dilakukan harus memenuhi azas
ketepatan, kecepatan, dan keakuratan dalam suatu rentang waktu tertentu.
Dalam konteks pendidikan, kebijakan merupakan suatu rumusan
dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional[16].
Selanjut Tilaar dan Nugroho[17]
menyatakan pada era globalisasi dan neoliberalisme dalam membuat kebijakan
pendidikan beberapa hal yang harus ada didalamnya, yaitu:
a. merupakan suatu keseluruhan
deliberalisasi mengenai hakekat manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia
dalam lingkungan kemanusiaan;
b. dilahirkan dari ilmu
pendidikan sebagai praksis yaitu kesatuan antara teori dan praktek pendidikan;
c. harus memiliki validitas
dalam perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan;
d. berdasarkan azas
keterbukaan;
e. didukung oleh riset dan
pengembangan;
f. analisis kebijakan;
g. ditujukan untuk kebutuhan
peserta didik;
h. diarahkan pada terbentuknya
masyarakat demokratis;
i. berkaitan dengan penjabaran
misi pendidikan dalam mencapai tujuan;
j. berdasarkan efisiensi;
k. berdasarkan kebutuhan
peserta didik;
l. bukan berdasarkan institusi
atau kebijaksanaan irasional;
m. kejelasan tujuan
n. diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan peserta didik.
Berdasarkan pemikiran di atas dan pasal 4, 5, dan 6 (ayat 1,
2, dan 3) PP No. 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan serta hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dapatlah dirumuskan
kebijakan pendidikan dimasa depan sebagai berikut:
1. Sistem pendidikan nasional
seiring dengan semangat otonomi daerah, memberikan peluang kepada daerah untuk mengembangkan
karakteristik, jati diri, dan potensinya dalam kerangka NKRI;
2. Seiring dengan laju
pertumbuhan penduduk dan kesempatan kerja dengan tenaga berpendidikan SMA
keatas yang cukup besar, maka perlu segera diimplementasikan wajib belajar 12
tahun;
3. Dalam konteks pelaksanaan
wajib belajar 12 tahun perlu dilaksanakan program pendidikan ketrampilan yang
menekankan kemampuan peserta didik untuk menguasai pembelajaran sehingga dengan
ketrampilan yang dibutuhkan pada lapangan pekerjaan;
4. Memperkecil angka pengangguran
(terbuka dan terdidik) dan putus sekolah;
5. Kebijakan penggunaan
anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD hanya untuk upaya peningkatan mutu
pendidikan. Artinya tidak termasuk gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta
biaya pendidikan kedinasan;
6. Pemenuhan dan
pengimplementasian delapan standar pendidikan secara komprehensif. Dan
terintegrasi.
Tentu saja hal-hal yang disebutkan di atas harus memiliki
relevansi dengan:
1.
Peningkatan kualitas dan mutu pendidikan. Artinya hanya
manusia yang berkualitas saja yang dapat bertahan hidup (survive) dan dapat berpartisipasi di masa depan yang sangat
kompetitif;
2.
Peningkatan kesiapan peserta didik untuk menghadapi masa
mendatang yang penuh teka-teki. Kosekuensi logisnya peserta didik harus banyak
dilatih secara terus menerus untuk menghadapi perubahan-perubahan;
3.
Peningkatan kemandirian peserta didik melalui pengajaran.
Artinya dalam menghadapi masa depan yang kompetitif dibutuhkan wahana
pembelajaran yang kondusif sebagai upaya meningkatkan kemandirian;
4.
Peningkatan kemampuan peserta didik untuk membuat/menciptakan
karya nyata. Artinya proses pendidikan yang diberikan adalah dalam upaya
merangsang daya kreatifitas peserta didik;
5.
Peningkatan dan penanaman kedisiplinan, tanggung jawab dan
kesetiakawanan yang tinggi kepada peserta didik. Artinya sebagai makhluk sosial
peserta didik harus memiliki sikap dan jiwa kedisiplinan, bertanggung jawab dan
kesetiakawanan terhadap apa yang dihasilkannya atau diperbuatnya;
6.
Peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Artinya sebagai makhluk Tuhan peserta didik agar dapat mengendalikan diri
agar tidak jatuh kedalam kubangan lumpur kehidupan sesat.
Merujuk pada beberapa hal tersebut di
atas, menurut hemat penulis kebijakan manajemen pendidikan yang harus dilakukan
adalah:
1.
Pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan. Artinya kebijakan
pendidikan nasional memberikan kepercayaan pada semua jenjang lembaga
pendidikan dengan otonomi yang luas. Hal ini dimaksudkan agar lembaga
pendidikan tersebut mampu mengelola dirinya sendiri dan menghadapi setiap
persoalan yang dihadapi secara bertanggung jawab;
2.
Melakukan desentralisasi pendidikan. Artinya Indonesia yang
berbhineka sudah barang tentu memiliki keragaman. Untuk itu semangat ini
diharapkan setiap lembaga pendidikan dapat mewujudkan setiap program dan
melaksanakannya sesuai dengan kondisinya masing-masing. Dengan demikian
diharapkan tingkat efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pendidikan dapat
terlaksana;
3.
Akuntabilitas pendidikan. Artinya setiap lembaga pendidikan
harus mampu menunjukan kinerjanya secara bertanggung jawab sebagaimana amanat
yang diberikan kepada stackholdernya;
4.
Relevansi pendidikan. Artinya lembaga pendidikan harus
menyiapkan peserta didik memiliki kompetensi, ketangguhan, dan kesiapan
menghadapi tantangan globalisasi;
5. Pemberdayaan masyarakat.
Artinya harus merangkul dan melibatkan masyarakat sebagai salah satu
stackholder pendidikan agar dapat berpastisipasi baik secara materi maupun
subtantif. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat ikut juga
memiliki tanggung jawab mengawal proses pendidikan.
Adapun strategi manajemen pendidikan yang dapat dilakukan,
dengan melakukan:
1. Demokratisasi pendidikan. Maksudnya
dengan melakukan perluasan dan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan yang layak melalui pendirian lembaga pendidikan. Termasuk untuk
mereka yang berkebutuhan khusus;
2. Meningkatkan kualitas dan mutu
pendidikan disemua jenjang pendidikan. Maksudnya dengan melakukan pembaharuan
kurikulum, profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan;
3. Meningkatkan relevansi pendidikan.
Maksudnya dengan melakukan pengembangan kecakapan dasar, proses pendidikan yang
humanis, penataan program agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik serta
membangun budaya masyarakat pembelajar;
4. Meningkatkan efisiensi dan
efektifitas pendidikan. Maksudnya dengan mengimplementasikan MBS, otonomi dan
akuntabilitas lembaga pendidikan.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Dampak perkembangan dunia dampaknya terhadap
pendidikan dapat dilihat pada dua sisi, yaitu internal untuk mengisi pembangunan bangsa dan
eksternal dalam konteks kompetensi dan kompetisi antar bangsa-bangsa si dunia. Untuk
mengakomodasinya manajemen pendidikan harus mampu membangkitkan potensi bangsa
ke depan, mencetak kader-kader masa depan yang memiliki kompetensi, handal,
terampil, tangguh, dan berkualitas di era kompetisi terbuka (global) dan
mengantisipasi segala tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif
(jika diperlukan revolusioner) sehingga dapat menjadi bangsa yang dihormati dan
disegani oleh bangsa-bangsa lain. Untuk merespon hal tersebut, manajemen
pendidikan harus berubah menjadi manajemen berbasis sekolah/madrasah sebagai
salah satu peluang dalam menyajikan pendidikan yang berkualitas dalam
mengimplementasikan perubahan-perubahan tersebut kedalam kebijakan-kebijakan
strategis di tingkat sekolah/madrasah secara efektif dan efisien. Karena
sekolah/madrasah yang paling tahun apa menjadi kebutuhan stackholdernya.
2.
Filosofi
pendidikan masa depan dapat memfusikan serta mengadaptasi sesuai dengan kekinian filosofi Ki Hajar
Dewantara yaitu “Ing ngarsosung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri
handayani”. Filosofi ini bertujuan agar dalam proses pendidikan terimplementasikan
penguasaan diri sebab pendidikan merupakan proses memanusiawikan manusia. Artinya
proses pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang berkepribadian merdeka,
sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Penjabaran
konsep filosofinya melalui sistem among yang berlandaskan rasa asih(mendidik
dengan tulus), asah (selalu mengasah ilmu dan keterampilan anak didik), dan
asuh(selalu memotivasi peserta didik untuk menjadi yang terbaik dan memegang
teguh etika dan kebenaran).
3.
Struktur
pendidikan masa depan harus menekankan pada proses pembelajaran dari pada
mengajar (berpusat pada siswa) dan
memiliki struktur yang fleksibel. Artinya dalam memperlakukan peserta
didik haruslah sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri,
dan prosesnya dilakukan secara berkekelanjutan serta selalu menyesuaikan dengan
perkembangan dan dinamika masyarakat
4.
Tantangan
manajemen pendidikan adalah bagaimana memformulasikan dalam mengelola, membuat dan menerapkan konsep,
strategi yang cerdas agar dapat diterapkan dalam pendidikan yang pada praktek
dan penerapannya disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
5.
Kebijakan
manajemen pendidikan masa depan harus memenuhi azas ketepatan, keterbukaan, kecepatan, dan
keakuratan dalam suatu rentang waktu tertentu. Untuk itu perlu dilakukan pemberdayaan
lembaga-lembaga pendidikan,
melakukan desentralisasi
pendidikan, akuntabilitas pendidikan, relevansi pendidikan, dan pemberdayaan
masyarakat.
Adapun
strategi manajemen pendidikan masa depan dilakukan dengan demokratisasi
pendidikan, meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan disemua jenjang
pendidikan, meningkatkan relevansi pendidikan, meningkatkan efisiensi dan
efektifitas pendidikan.
3.2.
Rekomendasi
Pendidikan memiliki
keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses
globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Untuk itu perlu dilakukan:
1. Melakukan
reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan
yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi
secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Artinya pendidikan
harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik
mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana
penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab serta mengembangkan pendidikan
yang berwawasan global.
2. Struktur
pendidikan
harus menekankan pada proses pembelajaran dari pada mengajar (berpusat pada
siswa), memiliki struktur yang fleksibel, memperlakukan peserta didik
sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan
berkesinambungan serta selalu disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika
masyarakat.
3. Menyelenggarakan
pendidikan yang bersifat double tracks. Artinya, pendidikan yang
menekankan pada pengembangan pengetahuan umum dan bersifat spesifik harus yang
mengkombinasikan atau memadukan strukturnya antara tempat kerja, pelatihan dan
pendidikan formal sistem persekolahan. Melalui double tracks ini diharapkan
akan menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi
untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan
cepat.
4. Mewujudkan wajib belajar 12 tahun
jika perlu hingga 17 tahun.
[1] Hurip Danu
Ismadi, Handout mata kuliah Teori-teori
Manajemen Pendidikan, Program Doktor Pascasarjana Unpak September 2012
[2] Sutrisno, Re-visit Visi Pendidikan Kita, Jambi
Ekspres, Rabu, 4 Mei 2011, Hal. 5
[3] Jamal Ma’mur
Asmani, Manajemen Pengelola Kepemimpinan Pendidikan Preofesional, (Yogyakarta:
Diva Pres, 2009)
[6] Anonim, Renstra Depdiknas 2005 – 2009, (Jakarta:
Depdiknas, 2005) Hal. 25 -26
[7] H.A.R.Tilaar, Standarisasi Pendidian Nasional: Suatu
Tinjauan Kritis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006) Hal. 140-143
[8] H.A.R.Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari
perspektif Studi Kultural, (Magelang: Indonesiatera, 2003) Hal. 140-147-149
[9] E. Mulyasa, Menjadi KepalaSekolah Profesional: Dalam
Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) Hal.
14
[10] Ni Luh Ike
Pratiwi, Wajah Kusam Pendidikan Kita,
Buku Seri Demokrasi ke 18, (Malang: Averroes Pres, 2011) Hal 58-60
[11] Soebagio
Atmodiwirio, Manajemen Pendidikan
Indonesia, (Jakarta: Ardadizya Jaya, 2000) Hal. 276-277
[12] H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar
Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012)
Hal.469
[13] Keputusan
Mahkamah Agung No. 2596.K/PDT/2008 tanggal 14 September 2009 melarang Depdiknas menyelenggarakan ujian
Nasional (UN) menguatkan keputusan Pengadilan tinggi Jakarta atas gugatan
penyelenggaraan UN tanggal 6 Januari 2007. Namun anehnya, pemerintah tetap
memberlakukan UN dan mengabaikan keputusan MA. Banyak fakta empiris dilapangan
yang menyatakan UN berdampak negatif terhadap kualitas proses dan hasil
pembelajaran.
[14] Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) Hal. 6
[15] Onisimus Amtu, Manajemen Pendidikan di Era Otonommi Daerah:
Konsep, Strategi, dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2011)Hal. 26
[16] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen
Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan , (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
Hal. 7
[17] H.A.R. Tilaar dan
R. Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan
dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008)
No comments:
Post a Comment